Jumat, 12 Juni 2020

Madani di Tengah Beton: Ketika Perempuan Lintas Iman Menjadi Pilar Kota Pekanbaru


JANGKARKEADILAN, PEKANBARU – Di tengah ambisi membangun kota metropolitan yang gemerlap, Pekanbaru memilih untuk tidak hanya menata trotoar dan gedung pencakar langit, tapi juga menata hati warganya. Rabu, 17 September, puluhan perempuan lintas agama berkumpul di Aula MDI Kota Pekanbaru. Bukan untuk merayakan perbedaan, tapi untuk menyatukan tekad: menjadikan Pekanbaru sebagai kota yang madani.

Walikota Pekanbaru, Firdaus ST MT, menyampaikan bahwa membangun kota metropolitan adalah soal infrastruktur. Tapi membangun kota madani adalah soal karakter. Jalan bisa diaspal, gedung bisa ditinggikan, tapi jiwa masyarakat tidak bisa dibangun dengan semen dan baja.

Dalam hukum tata negara, pembangunan bukan hanya soal fisik, tapi juga soal sosial. Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak memajukan dirinya dan masyarakatnya. Maka, partisipasi perempuan lintas agama dalam dialog ini bukan hanya simbol, tapi juga implementasi hak konstitusional.

Mereka datang dari berbagai latar belakang: Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu. Mereka tidak membawa blueprint pembangunan, tapi membawa semangat gotong royong, kebersihan hati, dan kepedulian sosial. Dalam hukum, mereka adalah aktor non-negara yang berperan aktif dalam pembangunan berkelanjutan.

Kehadiran tokoh-tokoh seperti Kepala Kemenag Edwar S Umar, Ketua MUI Prof. Dr. H. Ilyas Busti, dan Ketua FKUB Ismardi Ilyas MA menunjukkan bahwa negara tidak berjalan sendiri. Ia menggandeng masyarakat sipil, termasuk perempuan, untuk merumuskan masa depan yang lebih manusiawi.

Di negeri yang gemar membangun mal tapi lupa membangun moral, Pekanbaru memberi pelajaran. Bahwa kota madani bukan soal lampu jalan, tapi soal terang hati. Bahwa pembangunan bukan hanya soal anggaran, tapi juga soal akhlak.

Masyarakat yang ramah, bersih, gotong royong—itu bukan jargon kampanye, tapi indikator kota madani. Dan perempuan lintas agama, dengan segala kelembutan dan keteguhan mereka, adalah fondasi yang tak terlihat tapi sangat terasa.

Dialog Tokoh Perempuan Lintas Agama ini adalah bukti bahwa hukum bisa bersinergi dengan spiritualitas, bahwa pembangunan bisa bersanding dengan keberagaman. Di tengah dunia yang semakin terpolarisasi, Pekanbaru memilih jalan tengah: membangun kota dengan beton dan budi pekerti.

Dan jika suatu hari kita lupa arah pembangunan, mungkin kita perlu kembali ke aula kecil di Pekanbaru, tempat di mana perempuan lintas iman pernah menyusun mimpi tentang kota yang madani.

 

Adv. Darius Leka, S.H., M.H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar