![]() |
Biopori bukan sekadar teknik konservasi. Ia adalah bentuk
perlawanan terhadap banjir, kekeringan, dan ketamakan manusia. Lubang-lubang
kecil yang dibuat secara vertikal ke dalam tanah, lalu diisi dengan sampah
organik, akan menjadi rumah bagi cacing, semut, dan akar tanaman. Mereka
bekerja tanpa upah, tanpa pamrih, hanya demi satu hal: menjaga keseimbangan
alam.
| Mgr. Paskalis Bruno Syukur, OFM |
Kegiatan ini dihadiri oleh tokoh lintas iman: Mgr. Paskalis
Bruno Syukur, KH. Zaenal Abidin, RD. Mikael Endro Susanto, RD. Dominikus Saviyo
Tukiyo, dan Prof. Kamir R. Brata—pelopor LRB dari IPB. Mereka tidak datang
untuk berdebat soal surga, tapi untuk menyelamatkan bumi yang kita pijak
bersama.
Mgr. Paskalis menyatakan bahwa mencintai alam adalah bentuk
nyata dari iman. “Alam adalah saudara,” katanya. Sebuah kalimat yang seharusnya
menjadi ayat tambahan dalam kitab hukum lingkungan. Gereja Katolik mendukung
gerakan ini sebagai gerakan bersama. Sebuah pesan bahwa spiritualitas tidak
berhenti di altar, tapi juga harus menyentuh tanah.
Di negeri yang gemar membangun jalan tol tapi lupa membangun lubang resapan, kegiatan ini seperti satire ekologis. Kita sibuk menambal aspal, tapi lupa menambal nurani. Kita bangga dengan beton, tapi malu dengan kompos. Padahal, lubang biopori lebih jujur daripada banyak pidato pejabat: ia menyerap, bukan menolak.
Lubang Resapan Biopori adalah simbol bahwa hukum bisa
bersahabat dengan iman, dan iman bisa bersahabat dengan tanah. Di tengah krisis
iklim dan polarisasi sosial, kegiatan ini menjadi bukti bahwa kolaborasi lintas
agama bisa dimulai dari sekop dan tanah, bukan dari seminar dan jargon.
Dan jika suatu hari kita kehilangan arah, mungkin kita perlu
kembali ke taman samping gereja, tempat di mana iman, hukum, dan tanah pernah
bersatu dalam satu lubang kecil bernama biopori.
Adv. Darius Leka, S.H., M.H.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar