Jumat, 12 Juni 2020

Lubang Resapan Biopori; Ketika Iman Menyapa Tanah dan Hukum Menyentuh Akar


JANGKARKEADILAN.COM, BOGOR – Di tengah kota yang sibuk membangun gedung pencakar langit, ada sekelompok orang yang memilih menggali lubang. Bukan untuk menyembunyikan dosa, tapi untuk menyelamatkan bumi. Kamis, 12 Maret, Paroki BMV Katedral Bogor bersama BASOLIA menggelar kegiatan yang tampak sederhana: sosialisasi dan praktik pembuatan Lubang Resapan Biopori (LRB). Tapi di balik lubang-lubang kecil itu, tersimpan gagasan besar tentang iman, hukum, dan keberlanjutan.

Biopori bukan sekadar teknik konservasi. Ia adalah bentuk perlawanan terhadap banjir, kekeringan, dan ketamakan manusia. Lubang-lubang kecil yang dibuat secara vertikal ke dalam tanah, lalu diisi dengan sampah organik, akan menjadi rumah bagi cacing, semut, dan akar tanaman. Mereka bekerja tanpa upah, tanpa pamrih, hanya demi satu hal: menjaga keseimbangan alam.

Mgr. Paskalis Bruno Syukur, OFM
Secara hukum, kegiatan ini sejalan dengan prinsip environmental stewardship yang diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 65 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Maka, menggali biopori bukan hanya tindakan ekologis, tapi juga konstitusional.

Kegiatan ini dihadiri oleh tokoh lintas iman: Mgr. Paskalis Bruno Syukur, KH. Zaenal Abidin, RD. Mikael Endro Susanto, RD. Dominikus Saviyo Tukiyo, dan Prof. Kamir R. Brata—pelopor LRB dari IPB. Mereka tidak datang untuk berdebat soal surga, tapi untuk menyelamatkan bumi yang kita pijak bersama.

Mgr. Paskalis menyatakan bahwa mencintai alam adalah bentuk nyata dari iman. “Alam adalah saudara,” katanya. Sebuah kalimat yang seharusnya menjadi ayat tambahan dalam kitab hukum lingkungan. Gereja Katolik mendukung gerakan ini sebagai gerakan bersama. Sebuah pesan bahwa spiritualitas tidak berhenti di altar, tapi juga harus menyentuh tanah.

Di negeri yang gemar membangun jalan tol tapi lupa membangun lubang resapan, kegiatan ini seperti satire ekologis. Kita sibuk menambal aspal, tapi lupa menambal nurani. Kita bangga dengan beton, tapi malu dengan kompos. Padahal, lubang biopori lebih jujur daripada banyak pidato pejabat: ia menyerap, bukan menolak.

Lubang Resapan Biopori adalah simbol bahwa hukum bisa bersahabat dengan iman, dan iman bisa bersahabat dengan tanah. Di tengah krisis iklim dan polarisasi sosial, kegiatan ini menjadi bukti bahwa kolaborasi lintas agama bisa dimulai dari sekop dan tanah, bukan dari seminar dan jargon.

Dan jika suatu hari kita kehilangan arah, mungkin kita perlu kembali ke taman samping gereja, tempat di mana iman, hukum, dan tanah pernah bersatu dalam satu lubang kecil bernama biopori.

 

Adv. Darius Leka, S.H., M.H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar