Kegiatan ini dibuka oleh Sri Sultan HB X, bukan dengan
pidato panjang, tapi dengan tindakan simbolis: menanam pohon dan menebar benih
ikan. Sebuah pesan ekologis yang lebih kuat dari ribuan seminar. Dalam hukum
lingkungan, ini adalah implementasi nyata dari UU No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 3 menegaskan bahwa
pelestarian lingkungan adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya pemerintah.
Dan ketika pemuka agama ikut menanam, hukum pun menjadi
spiritual. Ketika seniman menari di sela-sela penanaman, hukum pun menjadi
estetis. Ketika masyarakat lintas iman bergandengan tangan, hukum pun menjadi
inklusif.
![]() |
| Foto: Istimewa |
Di negeri yang gemar menebang pohon demi membangun gedung, kegiatan ini seperti satire ekologis. Kita sibuk menghitung pertumbuhan ekonomi, tapi lupa menghitung pertumbuhan akar. Kita bangga dengan ekspor batu bara, tapi malu dengan ekspor kesadaran lingkungan.
Yayasan Ampera Indonesia, melalui Ketua Umumnya Bapak
Wahyudihardja Kusuma, SH, menegaskan bahwa kegiatan ini bukan sekadar seremoni.
Ia harus menjadi gerakan padat karya, membuka lapangan kerja, dan meningkatkan
pendapatan per kapita. Sebuah gagasan yang menggabungkan ekologi dan ekonomi,
spiritualitas dan statistik.
Yayasan Ampera Indonesia merancang Grand Design
nasional: penanaman pohon di seluruh Indonesia sebagai landasan optimalisasi
sumber daya alam dan manusia. Sebuah mimpi besar yang tak hanya menyentuh
tanah, tapi juga menyentuh hati. Jika dilaksanakan, ini bisa menjadi model pembangunan
berkelanjutan yang berbasis komunitas dan keadilan ekologis.
Dalam perspektif hukum pembangunan, ini adalah bentuk
pelaksanaan Pasal 33 UUD 1945: bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Maka, menanam
pohon bukan hanya tindakan ekologis, tapi juga tindakan konstitusional.
![]() |
| Foto: Istimewa |
Global warming bukan sekadar wacana, tapi ancaman nyata.
Protokol Kyoto dan pertemuan-pertemuan internasional adalah bukti bahwa dunia
sedang gelisah. Tapi di Yogyakarta, kegelisahan itu diubah menjadi gerakan.
Pohon ditanam, benih ikan ditebar, tari dipentaskan, dan iman disatukan.
Dan jika suatu hari kita kehilangan arah pembangunan,
mungkin kita perlu kembali ke tanah Jogja, tempat di mana hukum, iman, dan alam
pernah bersatu dalam satu lubang kecil bernama harapan.
Adv. Darius Leka, S.H., M.H.



Tidak ada komentar:
Posting Komentar