Jumat, 12 Juni 2020

Go-Green Lintas Agama; Ketika Pohon Menyatukan Iman dan Hukum Menyatu dengan Alam


JANGKARKEADILAN, YOGYAKARTA – Di tengah dunia yang sibuk memperdebatkan ayat dan pasal, Yogyakarta memilih menanam pohon. Tanggal 17 Maret 2012, atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, Yayasan Go Green Calvin bersama forum lintas agama, komunitas seniman, pecinta lingkungan, dan Pemerintah Provinsi DIY menggelar sebuah peristiwa yang tak tercatat dalam indeks saham, tapi tercatat dalam indeks nurani: Go-Green Lintas Agama.

Kegiatan ini dibuka oleh Sri Sultan HB X, bukan dengan pidato panjang, tapi dengan tindakan simbolis: menanam pohon dan menebar benih ikan. Sebuah pesan ekologis yang lebih kuat dari ribuan seminar. Dalam hukum lingkungan, ini adalah implementasi nyata dari UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 3 menegaskan bahwa pelestarian lingkungan adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya pemerintah.

Dan ketika pemuka agama ikut menanam, hukum pun menjadi spiritual. Ketika seniman menari di sela-sela penanaman, hukum pun menjadi estetis. Ketika masyarakat lintas iman bergandengan tangan, hukum pun menjadi inklusif.

Foto: Istimewa

Di negeri yang gemar menebang pohon demi membangun gedung, kegiatan ini seperti satire ekologis. Kita sibuk menghitung pertumbuhan ekonomi, tapi lupa menghitung pertumbuhan akar. Kita bangga dengan ekspor batu bara, tapi malu dengan ekspor kesadaran lingkungan.

Yayasan Ampera Indonesia, melalui Ketua Umumnya Bapak Wahyudihardja Kusuma, SH, menegaskan bahwa kegiatan ini bukan sekadar seremoni. Ia harus menjadi gerakan padat karya, membuka lapangan kerja, dan meningkatkan pendapatan per kapita. Sebuah gagasan yang menggabungkan ekologi dan ekonomi, spiritualitas dan statistik.

Yayasan Ampera Indonesia merancang Grand Design nasional: penanaman pohon di seluruh Indonesia sebagai landasan optimalisasi sumber daya alam dan manusia. Sebuah mimpi besar yang tak hanya menyentuh tanah, tapi juga menyentuh hati. Jika dilaksanakan, ini bisa menjadi model pembangunan berkelanjutan yang berbasis komunitas dan keadilan ekologis.

Dalam perspektif hukum pembangunan, ini adalah bentuk pelaksanaan Pasal 33 UUD 1945: bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Maka, menanam pohon bukan hanya tindakan ekologis, tapi juga tindakan konstitusional.

Foto: Istimewa

Global warming bukan sekadar wacana, tapi ancaman nyata. Protokol Kyoto dan pertemuan-pertemuan internasional adalah bukti bahwa dunia sedang gelisah. Tapi di Yogyakarta, kegelisahan itu diubah menjadi gerakan. Pohon ditanam, benih ikan ditebar, tari dipentaskan, dan iman disatukan.

Dan jika suatu hari kita kehilangan arah pembangunan, mungkin kita perlu kembali ke tanah Jogja, tempat di mana hukum, iman, dan alam pernah bersatu dalam satu lubang kecil bernama harapan.

 

Adv. Darius Leka, S.H., M.H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar