Kamis, 11 Juni 2020

Negara Harus Berani Hapus Perda-Perda Diskriminatif: Komnas Perempuan

Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mendesak negara agar berani menghapus ratusan peraturan daerah (Perda) diskriminatif yang substansi, proses dan dampaknya mendiskriminasikan dan mengkriminalisasikan perempuan serta menjadikan perempuan sebagai obyek.

JANGKARKEADILAN.COM, JAKARTA – Dalam audiensinya dengan Presiden Joko “Jokowi” Widodo di Istana Negara pada awal pekan ini, sebanyak 13 komisioner Komnas Perempuan menyampaikan sejumlah hal penting termasuk Perda-Perda diskriminatif.

“Mengawali masa tugasnya, komisioner Komnas Perempuan periode tugas 2015-2019 diterima Presiden Joko Widodo untuk membicarakan sejumlah hal penting … menghapuskan 365 peraturan daerah yang diskriminatif yang menyerang tubuh perempuan seperti yang terjadi di Aceh dan Jawa Barat,” kata Irawati Harsono, komisioner Komnas Perempuan, saat konferensi pers di kantornya di Jakarta, Jumat (20/3).

Menurut Komnas Perempuan, jumlah Perda diskriminatif naik hampir dua kali lipat dalam lima tahun. Tahun 2010, hanya ada 194 kebijakan yang diskriminatif.

Untuk itu, Komnas Perempuan meminta pemerintahan Jokowi untuk mengawal Perda-Perda diskriminatif yang semakin membumbung.

“Negara harus berani. Kalau negara berpikir bahwa konstitusi itu hanya teks, kan sayang. Kuncinya adalah keberanian negara,” Yuniyanti Chuzaifah, yang juga komisioner Komnas Perempuan, mengatakan kepada ucanews.com seusai konferensi pers.

Ia lebih lanjut menjelaskan bahwa ratusan Perda tersebut disebut diskriminatif karena “substansi, proses dan dampaknya mendiskriminasi, mengkriminalisasi, meregulasi atau mengobyekkan perempuan.”

Terkait substansi, Komnas Perempuan menyebut contoh kebijakan yang membatasi perempuan keluar malam. “Mungkin maksudnya adalah proteksionis, mencegah. Tetapi yang terjadi perempuan dibatasi keluar malam. Itu menghentikan penghidupan perempuan,” katanya.

Pada November 2005, Pemerintah Kota Tangerang mengeluarkan Perda No.8/2005 tentang Pelarangan Pelacuran. Namun penerapan Perda ini cenderung menyebabkan perempuan yang keluar malam ditangkap dan dianggap pelacur.

Pasal 4(1) dari Perda tersebut berbunyi setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur dilarang berada di jalan-jalan umum, di lapangan-lapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk/kontrakan, warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat tontonan, di sudut-sudut jalan atau di lorong-lorong jalan atau tempat-tempat lain di daerah.

Yuniyanti menambahkan bahwa proses pembuatan kebijakan menjadi diskriminatif karena kelompok minoritas dan publik sering tidak dilibatkan. “Tiba-tiba ada.”

Soal dampak, ia menambahkan bahwa dampak yang paling kelihatan di sejumlah wilayah adalah ketika terjadi upacara. “Sekarang yang disuruh berdiri di depan ialah yang pakai pakaian tertentu dengan standar agama tertentu,” katanya.

Menindaklanjuti audiensi tersebut, Presiden Jokowi telah meminta sekretaris kabinet untuk mempertemukan Komnas Perempuan dengan menteri dalam negeri.

“Presiden meminta koordinasi cepat dengan Kemendagri. Lebih kayak: ‘Ayo, segera duduk saja dengan Kemendagri,’” kata Yuniyanti.

___________________________
(Katharina R. Lestari, Jakarta. Sumber: ucanews.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar