JANGKARKEADILAN, KOTA DEPOK – Di tengah hiruk-pikuk Kota Depok, di antara beton dan doa, Paroki Santo Paulus berdiri bukan hanya sebagai bangunan, tapi sebagai panggilan. Sebuah tempat di mana pelayanan bukan sekadar rutinitas, tapi perjuangan. Di mana kelemahan bukan aib, tapi pintu masuk bagi rahmat.
Pada akhir pekan yang penuh refleksi di Sawangan Golf Hotel
& Resort, Dewan Pastoral Paroki (DPP) dan Dewan Keuangan Paroki (DKP) St.
Paulus Depok berkumpul. Bukan untuk merayakan pencapaian, tapi untuk menyusun
ulang arah pelayanan. “Kita mau menjadikan paroki ini lebih baik dan lebih baik,”
begitu kesimpulan yang bukan sekadar slogan, tapi komitmen.
RD. Yohanes Driyanto, Vikaris Yudisial Keuskupan Bogor,
mengingatkan: “Jangan Paulus kembali menjadi Saulus.” Sebuah kalimat yang
menggugah, mengajak gereja untuk tidak tenggelam dalam kegelapan masa lalu.
Karena Tuhan bisa menulis lurus di garis yang bengkok. Dan paroki, seperti
manusia, punya hak untuk berubah.
RP. Tauchen Hotlan Girsang, OFM, sang pastor paroki, tak gentar menghadapi tugas berat. “Saya siap disalibkan di Depok,” katanya. Sebuah pernyataan yang bukan hiperbola, tapi cerminan dedikasi. Ia ingin menjadikan paroki ini sebagai percontohan manajemen interkulturasi dan interreligious. Sebuah gereja yang tak hanya berkhotbah, tapi juga berbuat.
RD. Benyamin Sudarto, Vikaris Jenderal Keuskupan Bogor,
menekankan pentingnya iklim kerja yang positif. Lima tugas utama
gereja—Koinonia, Kerygma, Liturgia, Diakonia, Martyria—bukan sekadar istilah
teologis, tapi fondasi hukum pelayanan. Gereja bukan hanya tempat ibadah, tapi
tempat penebusan sosial.
Dan pelayanan bukan monopoli berjubah. “Panggilan bukan
hanya milik pastor atau suster. Kita semua terpanggil,” tegas RD Benyamin.
Dalam hukum gereja, setiap umat punya hak dan kewajiban untuk melayani. Karena
penebusan Kristus bukan hanya untuk yang di altar, tapi juga untuk yang di
lorong-lorong kehidupan.
Dr. Sonny Y. Soeharso, psikolog dari Universitas Pancasila,
mengingatkan bahwa kelemahan bukanlah penghalang. “Kita adalah bejana tanah
liat,” katanya. Dan Tuhan justru tertarik pada mereka yang mengakui
keterbatasan. Musa, pemimpin besar Israel, dulunya adalah orang yang tak
percaya diri.
Dalam hukum pelayanan, kelemahan bukan alasan untuk mundur.
Ia adalah alasan untuk maju dengan rendah hati. Karena gereja bukan tempat
orang sempurna, tapi tempat orang yang mau dibentuk.
Gereja yang merasa cukup adalah gereja yang berhenti
bertumbuh. Gereja yang takut kritik adalah gereja yang kehilangan terang.
Kata-kata pedas dan protes bukan ancaman, tapi bahan bakar untuk pelayanan yang
lebih baik.
Paroki Santo Paulus Depok sedang belajar menjadi terang.
Bukan terang yang menyilaukan, tapi terang yang menghangatkan. Bukan terang
yang menghakimi, tapi terang yang mengundang.
Adv. Darius Leka, S.H., M.H. (Koordinator KOMSOS Paroki Santo Paulus Depok)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar