Rabu, 10 Juni 2020

Officium Nobile yang Tersisih; Ketika Advokat Dipandang Sebelah Mata

JANGKARKEADILAN, JAKARTA –Di tengah pandemi yang membekukan mobilitas dan membatasi ruang gerak, sebuah surat meluncur dari Barisan Advokat Pengawal Jokowi-Ma’ruf (BAP-JOMA). Bukan surat cinta, melainkan surat keberatan. Nomor: 009/SK.01/BAP-JOMA/VI/2020. Ditujukan kepada Sekretaris Daerah Pemprov DKI Jakarta, dengan tembusan ke Gubernur dan Ketua DPRD. Isinya: protes atas pengecualian Surat Izin Keluar Masuk (SIKM) yang dianggap mendiskriminasi profesi advokat.

Surat Pemprov DKI Jakarta tertanggal 5 Juni 2020, nomor 490/-079, menetapkan pengecualian SIKM hanya bagi unsur Kemenkumham, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, dan KPK. Advokat? Hanya disebut sebagai “mitra penegakan hukum”. Sebuah label yang terdengar sopan, tapi terasa merendahkan.

BAP-JOMA tak tinggal diam. Mereka mengantar surat keberatan secara langsung, dipimpin oleh para advokat yang tak hanya bersenjata pasal, tapi juga harga diri. Di antara mereka: YMP. H. Liswar Mahdi, Iwan Saputra, Budi Aryo Unanto, Darius Leka, dan Ferry Yuli Irawan. Mereka bukan sekadar pembela perkara, tapi penjaga martabat profesi.

Pasal 5 ayat (1) UU Advokat No. 18 Tahun 2003 menyebut advokat sebagai officium nobile—profesi terhormat. Setara dengan polisi, jaksa, dan hakim. Tapi dalam surat Pemprov, mereka hanya “mitra”. Seperti figuran dalam film hukum, bukan pemeran utama.

Laksda TNI (Purn) A.R. Tampubolon, Ketua Dewan Pembina BAP-JOMA, menulis dalam status WhatsApp-nya: “Tidak pas kalau profesi Advokat hanya dijadikan sebagai mitra penegak hukum. Seharusnya Advokat setara dengan penegak hukum lain.” Sebuah kalimat sederhana, tapi menggugah. Karena hukum bukan hanya soal pasal, tapi juga soal pengakuan.

Pengecualian SIKM bukan sekadar urusan surat. Ia mencerminkan bagaimana negara memandang profesi advokat. Ketika advokat tidak diberi akses yang sama, maka proses peradilan bisa timpang. Bagaimana membela klien jika tak bisa keluar masuk Jakarta? Bagaimana menegakkan keadilan jika dibatasi oleh regulasi yang tak adil?

Surat Pemprov menyebut advokat sebagai mitra dari lembaga penegak hukum. Tapi bukankah mereka bagian dari sistem itu sendiri? Bukankah mereka hadir di ruang sidang, berdampingan dengan jaksa dan hakim, memperjuangkan hak dan keadilan?

Dalam dunia hukum, pengakuan bukan sekadar simbol. Ia menentukan akses, peran, dan martabat. Ketika advokat dipandang sebelah mata, maka hukum kehilangan salah satu tiangnya. Dan ketika surat keberatan harus dikirim untuk menuntut pengakuan, maka kita tahu: ada yang salah dalam cara kita memandang keadilan.

BAP-JOMA telah bersuara. Kini giliran kita mendengar. Karena hukum bukan hanya milik penguasa, tapi milik semua yang berjuang di dalamnya.

Saya bisa bantu ubah artikel ini menjadi carousel Instagram atau skrip video pendek berdurasi 60 detik agar lebih mudah disebarkan ke publik. Mau saya bantu ubah sekarang?

 

Adv. Darius Leka, S.H., M.H.

1 komentar: