JANGKARKEADILAN, JAKARTA – Di tengah pandemi yang mengubah ritme hidup dan membekukan langkah, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menerbitkan Peraturan Gubernur Nomor 47 Tahun 2020. Isinya: siapa pun yang ingin keluar atau masuk Ibu Kota harus berbekal Surat Izin Keluar Masuk (SIKM). Sebuah kebijakan yang digadang-gadang sebagai pagar hukum demi menahan laju virus.
Namun, seperti pagar yang dibangun tergesa, ada celah
diskriminasi yang menganga.
Surat Edaran Sekda DKI Jakarta, Saefullah, nomor 490/-079
tertanggal 5 Juni 2020, menetapkan pengecualian SIKM hanya untuk segelintir
profesi penegak hukum: hakim, jaksa, penyidik KPK. Advokat? Tak disebut. Seolah
mereka bukan bagian dari barisan penegak keadilan.
BAP-JOMA, Barisan Advokat Pengawal Jokowi–Ma’ruf, tak
tinggal diam. Mereka mengirim surat keberatan, menuntut revisi. Di barisan itu
berdiri Budi Aryo Unanto, Wakil Sekjen 1 BAP-JOMA, yang bertanya lantang:
“Apakah advokat tidak masuk sebagai penegak hukum?”
Pertanyaan yang menggugah, karena jawabannya seharusnya sudah tertulis jelas dalam Undang-Undang.
Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU No. 18 Tahun 2003 tentang
Advokat menyatakan bahwa advokat adalah penegak hukum. Bukan mitra, bukan
figuran. Mereka bebas dan mandiri, dijamin oleh hukum, dan bekerja di seluruh
wilayah NKRI. Tapi dalam surat edaran itu, mereka seolah hanya pelengkap
penderita.
Liswar Mahdi, Ketua Umum BAP-JOMA, menyuarakan hal yang
sama: “Seharusnya advokat dimasukkan sebagai profesi penegak hukum yang
setara.” Karena keadilan tak bisa ditegakkan oleh satu sisi saja. Ia butuh
semua pilar: hakim, jaksa, dan advokat.
SIKM seharusnya menjadi alat pengendali pandemi, bukan alat
penyaring profesi. Ketika advokat dikecualikan dari pengecualian, maka hukum
kehilangan keseimbangannya. Bagaimana advokat bisa membela klien, menghadiri
sidang, atau menjalankan tugasnya jika akses ke Ibu Kota dibatasi?
BAP-JOMA pun bergerak. Senin pagi, 8 Juni 2020, mereka
datang membawa surat resmi, meminta revisi. Bukan sekadar demi kenyamanan, tapi
demi pengakuan. Karena dalam hukum, pengakuan adalah fondasi martabat.
Pandemi memang memaksa kita membuat kebijakan cepat. Tapi
kecepatan tak boleh mengorbankan keadilan. Surat edaran yang melupakan advokat
adalah cermin bahwa kadang hukum bisa lupa pada penjaganya sendiri.
Dan kita, sebagai warga negara, harus bertanya: jika advokat
tak dianggap penegak hukum, siapa yang akan membela kita saat hukum mulai
melupakan keadilan?
Adv. Darius Leka, S.H., M.H.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar