Minggu, 07 Juni 2020

SIKM dan Advokat yang Tersisih; Ketika Pintu Ibu Kota Tak Ramah pada Officium Nobile

JANGKARKEADILAN, JAKARTA – Di tengah pandemi yang mengubah ritme hidup dan membekukan langkah, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menerbitkan Peraturan Gubernur Nomor 47 Tahun 2020. Isinya: siapa pun yang ingin keluar atau masuk Ibu Kota harus berbekal Surat Izin Keluar Masuk (SIKM). Sebuah kebijakan yang digadang-gadang sebagai pagar hukum demi menahan laju virus.

Namun, seperti pagar yang dibangun tergesa, ada celah diskriminasi yang menganga.

Surat Edaran Sekda DKI Jakarta, Saefullah, nomor 490/-079 tertanggal 5 Juni 2020, menetapkan pengecualian SIKM hanya untuk segelintir profesi penegak hukum: hakim, jaksa, penyidik KPK. Advokat? Tak disebut. Seolah mereka bukan bagian dari barisan penegak keadilan.

BAP-JOMA, Barisan Advokat Pengawal Jokowi–Ma’ruf, tak tinggal diam. Mereka mengirim surat keberatan, menuntut revisi. Di barisan itu berdiri Budi Aryo Unanto, Wakil Sekjen 1 BAP-JOMA, yang bertanya lantang: “Apakah advokat tidak masuk sebagai penegak hukum?”

Pertanyaan yang menggugah, karena jawabannya seharusnya sudah tertulis jelas dalam Undang-Undang.

Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat menyatakan bahwa advokat adalah penegak hukum. Bukan mitra, bukan figuran. Mereka bebas dan mandiri, dijamin oleh hukum, dan bekerja di seluruh wilayah NKRI. Tapi dalam surat edaran itu, mereka seolah hanya pelengkap penderita.

Liswar Mahdi, Ketua Umum BAP-JOMA, menyuarakan hal yang sama: “Seharusnya advokat dimasukkan sebagai profesi penegak hukum yang setara.” Karena keadilan tak bisa ditegakkan oleh satu sisi saja. Ia butuh semua pilar: hakim, jaksa, dan advokat.

SIKM seharusnya menjadi alat pengendali pandemi, bukan alat penyaring profesi. Ketika advokat dikecualikan dari pengecualian, maka hukum kehilangan keseimbangannya. Bagaimana advokat bisa membela klien, menghadiri sidang, atau menjalankan tugasnya jika akses ke Ibu Kota dibatasi?

BAP-JOMA pun bergerak. Senin pagi, 8 Juni 2020, mereka datang membawa surat resmi, meminta revisi. Bukan sekadar demi kenyamanan, tapi demi pengakuan. Karena dalam hukum, pengakuan adalah fondasi martabat.

Pandemi memang memaksa kita membuat kebijakan cepat. Tapi kecepatan tak boleh mengorbankan keadilan. Surat edaran yang melupakan advokat adalah cermin bahwa kadang hukum bisa lupa pada penjaganya sendiri.

Dan kita, sebagai warga negara, harus bertanya: jika advokat tak dianggap penegak hukum, siapa yang akan membela kita saat hukum mulai melupakan keadilan?

 

Adv. Darius Leka, S.H., M.H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar