JANGKARKEADILAN, JAKARTA – Di negeri yang gemar menonton drama, kadang panggung sandiwara tak hanya milik layar kaca. Ia merambah ke ruang konferensi pers, tempat mikrofon menjadi saksi bisu dan kamera menjadi hakim yang tak pernah tidur. Di sinilah tokoh kita, sebut saja A, berdiri gagah, mengaku sebagai pelaku tindak pidana. Padahal, pelaku sebenarnya adalah B—seseorang yang A lindungi dengan pengorbanan yang, entah mulia atau manipulatif, tetap saja berbau kebohongan.
Secara hukum, berkata bohong bukanlah tindak pidana. KUHP
tidak menghukum kebohongan kecuali ia bertransformasi menjadi penipuan—yakni
ketika kebohongan itu menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu secara
melawan hukum. Pasal 378 KUHP adalah pagar batasnya. Jika A hanya mengaku
sebagai pelaku di depan media tanpa memanfaatkan pengakuan itu untuk keuntungan
hukum atau materi, maka ia belum melangkah ke wilayah pidana.
Namun, apakah pengakuan palsu di depan publik tidak
berbahaya? Bukankah ia bisa mengaburkan penyidikan, menyesatkan opini publik,
bahkan merusak integritas proses hukum?
Sayangnya, hukum pidana tidak bergerak atas dasar rasa
kecewa publik. Ia menuntut kepastian, bukan sekadar kegaduhan.
Lain cerita jika A menyampaikan pengakuan palsu itu di bawah
sumpah, misalnya sebagai saksi di persidangan. Maka Pasal 242 KUHP siap
menyambutnya dengan ancaman pidana hingga tujuh tahun penjara. Jika pengakuan
palsu itu merugikan terdakwa lain, hukum bisa lebih keras: sembilan tahun
penjara.
Namun, pengakuan A di depan media bukanlah keterangan di
bawah sumpah. Ia bukan saksi di persidangan, bukan pula pihak yang diwajibkan
memberi keterangan menurut undang-undang. Maka, meski perbuatannya mengganggu
nurani, ia belum menyentuh ranah pidana.
Pertanyaannya: apakah hukum cukup puas dengan membiarkan A lolos begitu saja? Di sinilah kita menyadari bahwa hukum pidana bukan alat untuk menghukum semua kebohongan. Ia hanya menghukum kebohongan yang berdampak hukum. Sisanya, menjadi urusan etika, moral, dan mungkin karma.
Namun, jangan buru-buru menyimpulkan bahwa A bebas
sepenuhnya. Jika pengakuan palsu itu menghambat penyidikan, menyesatkan aparat,
atau memicu tindakan hukum yang keliru, maka bisa saja ia dijerat dengan pasal
lain, seperti menghalangi proses peradilan atau memberikan keterangan palsu
kepada penyidik—tentu dengan syarat dan pembuktian yang ketat.
Setelah penyidikan berjalan, A akhirnya mengaku bahwa pelaku
sebenarnya adalah B. Kebenaran, meski sempat tersesat, akhirnya menemukan
jalannya. Tapi jejak kebohongan A tetap membekas. Ia mungkin tak dipidana, tapi
sejarah akan mencatatnya sebagai orang yang rela berdusta demi orang lain—entah
karena cinta, loyalitas, atau sekadar ilusi heroisme.
Dan kita, sebagai penonton, hanya bisa bertanya: di negeri
ini, apakah kebenaran harus selalu menunggu giliran?
Adv. Darius Leka, S.H., M.H.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar