Kamis, 11 Juni 2020

Pengakuan Palsu di Panggung Media; Ketika Kebenaran Menjadi Korban

JANGKARKEADILAN, JAKARTA – Di negeri yang gemar menonton drama, kadang panggung sandiwara tak hanya milik layar kaca. Ia merambah ke ruang konferensi pers, tempat mikrofon menjadi saksi bisu dan kamera menjadi hakim yang tak pernah tidur. Di sinilah tokoh kita, sebut saja A, berdiri gagah, mengaku sebagai pelaku tindak pidana. Padahal, pelaku sebenarnya adalah B—seseorang yang A lindungi dengan pengorbanan yang, entah mulia atau manipulatif, tetap saja berbau kebohongan.

Secara hukum, berkata bohong bukanlah tindak pidana. KUHP tidak menghukum kebohongan kecuali ia bertransformasi menjadi penipuan—yakni ketika kebohongan itu menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu secara melawan hukum. Pasal 378 KUHP adalah pagar batasnya. Jika A hanya mengaku sebagai pelaku di depan media tanpa memanfaatkan pengakuan itu untuk keuntungan hukum atau materi, maka ia belum melangkah ke wilayah pidana.

Namun, apakah pengakuan palsu di depan publik tidak berbahaya? Bukankah ia bisa mengaburkan penyidikan, menyesatkan opini publik, bahkan merusak integritas proses hukum?

Sayangnya, hukum pidana tidak bergerak atas dasar rasa kecewa publik. Ia menuntut kepastian, bukan sekadar kegaduhan.

Lain cerita jika A menyampaikan pengakuan palsu itu di bawah sumpah, misalnya sebagai saksi di persidangan. Maka Pasal 242 KUHP siap menyambutnya dengan ancaman pidana hingga tujuh tahun penjara. Jika pengakuan palsu itu merugikan terdakwa lain, hukum bisa lebih keras: sembilan tahun penjara.

Namun, pengakuan A di depan media bukanlah keterangan di bawah sumpah. Ia bukan saksi di persidangan, bukan pula pihak yang diwajibkan memberi keterangan menurut undang-undang. Maka, meski perbuatannya mengganggu nurani, ia belum menyentuh ranah pidana.

Pertanyaannya: apakah hukum cukup puas dengan membiarkan A lolos begitu saja? Di sinilah kita menyadari bahwa hukum pidana bukan alat untuk menghukum semua kebohongan. Ia hanya menghukum kebohongan yang berdampak hukum. Sisanya, menjadi urusan etika, moral, dan mungkin karma.

Namun, jangan buru-buru menyimpulkan bahwa A bebas sepenuhnya. Jika pengakuan palsu itu menghambat penyidikan, menyesatkan aparat, atau memicu tindakan hukum yang keliru, maka bisa saja ia dijerat dengan pasal lain, seperti menghalangi proses peradilan atau memberikan keterangan palsu kepada penyidik—tentu dengan syarat dan pembuktian yang ketat.

Setelah penyidikan berjalan, A akhirnya mengaku bahwa pelaku sebenarnya adalah B. Kebenaran, meski sempat tersesat, akhirnya menemukan jalannya. Tapi jejak kebohongan A tetap membekas. Ia mungkin tak dipidana, tapi sejarah akan mencatatnya sebagai orang yang rela berdusta demi orang lain—entah karena cinta, loyalitas, atau sekadar ilusi heroisme.

Dan kita, sebagai penonton, hanya bisa bertanya: di negeri ini, apakah kebenaran harus selalu menunggu giliran?

 

Adv. Darius Leka, S.H., M.H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar