Di tengah masyarakat Depok yang heterogen, kehadiran BASOLIA seharusnya
menjadi pelita. Tapi pelita itu redup. Warga bertanya-tanya: di mana suara
lintas agama saat konflik sosial mengintai? Di mana tangan lembaga saat
kemiskinan dan intoleransi bersatu dalam diam?
Lembaga sosial yang tak menyentuh akar persoalan hanya akan menjadi dekorasi
birokrasi. Dan hukum sosial tak mengenal basa-basi: yang tak relevan, akan
dilupakan.
Menjawab suara umat, BASOLIA mengadakan rapat pada Jumat, 22 Mei 2015, di
Pesantren Al Hamidyah, asuhan KH. Zainudin. Di sana, lahir rencana: edukasi dan
advokasi toleransi, pengobatan gratis, dan pembagian sembako untuk warga
miskin. Lokasi akan dipantau, prioritas akan ditentukan.
Terdengar menjanjikan. Tapi masyarakat tak butuh janji, mereka butuh aksi.
Karena hukum sosial tak sabar menunggu. Ia menuntut bukti, bukan wacana.
Sebagai advokat, saya percaya bahwa hukum bukan hanya soal pasal, tapi soal kehadiran. BASOLIA punya potensi menjadi jembatan antara hukum dan kemanusiaan. Tapi jembatan yang tak dibangun, hanya akan menjadi sketsa di atas kertas.
Toleransi bukan sekadar tema seminar. Ia harus hadir dalam bentuk nyata:
sembako untuk yang lapar, pengobatan untuk yang sakit, dan advokasi untuk yang
terpinggirkan. Jika BASOLIA ingin relevan, ia harus turun ke jalan, bukan hanya
duduk di forum.
BASOLIA adalah cermin dari bagaimana hukum sosial bekerja. Ketika lembaga
hadir tapi tak menyentuh, maka hukum kehilangan makna. Tapi ketika lembaga
berani menyapa yang miskin, yang terpinggirkan, yang berbeda—maka hukum menjadi
hidup.
Semoga rapat di Pesantren Al Hamidyah bukan sekadar ritual administratif, tapi awal dari gerakan lintas iman yang benar-benar menyentuh nurani masyarakat.
Adv. Darius Leka, S.H., M.H. (Founder & Pemimpin Redaksi www.jangkarkeadilan.com)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar