Dalam berbagai pertemuan pastoral dan beberapa pertemuan lainnya, sekarang ini terungkap beberapa kecemasan dalam hal pembinaan generasi muda, seperti masalah iman maupun kepribadian.
JANGKARKEADILAN.COM, DEPOK – Keprihatinan itu sebenarnya terkait dengan masalah yang selalu digencar oleh si iblis yaitu “KELUARGA”. Banyak keluarga Kristiani yang mengalami keretakan bahkan berada di ambang kehancuran yang sebabkan oleh berbagai masalah dan krisis yang menimpa di pengujung zaman ini.
Tidak ada hal istimewa jika ada pasangan suami-isteri bertengkar, yang dimulai dengan cek-cok kecil-kecilan bahkan sampai pada perpisahan. Pasangan yang sewaktu pacaran dan pada awal pernikahan tampak rukun, kini seakan-akan menghilang untuk dihadirkan kembali. Bahkan beberapa tahun kemudian merekapun tidak saling mencintai lagi. Kesatuan yang pernah mereka bangun bersama alhirnya retak setelah dihadapkan dengan persoalan-persoalan hidup berkeluarga. Sepanjang sejarah, Gereja sebenarnya selalu meng-hadapi berbagai aneka tantangan. Hal itu bahkan telah dialami sejak zaman para rasul. Bagaimana supaya keluarga kita terhindar dari kehancuran? Dan bagaimana agar kita dapat menambal kembali keretakan dalam keluarga yang saat ini mungkin sudah mengguncang keluarga kita?
Tidak ada hal istimewa jika ada pasangan suami-isteri bertengkar, yang dimulai dengan cek-cok kecil-kecilan bahkan sampai pada perpisahan. Pasangan yang sewaktu pacaran dan pada awal pernikahan tampak rukun, kini seakan-akan menghilang untuk dihadirkan kembali. Bahkan beberapa tahun kemudian merekapun tidak saling mencintai lagi. Kesatuan yang pernah mereka bangun bersama alhirnya retak setelah dihadapkan dengan persoalan-persoalan hidup berkeluarga. Sepanjang sejarah, Gereja sebenarnya selalu meng-hadapi berbagai aneka tantangan. Hal itu bahkan telah dialami sejak zaman para rasul. Bagaimana supaya keluarga kita terhindar dari kehancuran? Dan bagaimana agar kita dapat menambal kembali keretakan dalam keluarga yang saat ini mungkin sudah mengguncang keluarga kita?
Tidak Ada Gereja Tanpa Keluarga
Temu akbar pasutri Ke-uskupan Bogor (26/6) lalu lewat Komisi Keluarga KWI, Gereja juga telah menjadikan keluarga sebagai pusat perhatian dan prioritas kegiatan pastoral. Konfrensi Wali Gereja Indonesia (KWI) telah mengajak kepada semua pihak untuk peduli terhadap masalah ini dan turut ambil bagian secara aktif dalam memperhatikan serta pendampingan terhadap keluarga-keluarga Katolik.
Temu akbar pasutri Ke-uskupan Bogor (26/6) lalu lewat Komisi Keluarga KWI, Gereja juga telah menjadikan keluarga sebagai pusat perhatian dan prioritas kegiatan pastoral. Konfrensi Wali Gereja Indonesia (KWI) telah mengajak kepada semua pihak untuk peduli terhadap masalah ini dan turut ambil bagian secara aktif dalam memperhatikan serta pendampingan terhadap keluarga-keluarga Katolik.
“Tidak ada Gereja tanpa keluarga” demikian tegas Ketua Komisi Keluarga KWI Mgr. Michael Cosmas Angkur, OFM, yang dikenal sebagai Uskup dari Keuskupan Bogor. Kesetiaan, kekompakan, komunikasi, kebersamaan dalam keluarga merupakan harapan Bapak Uskup dan menjadi perhatian bagi semua pihak dalam masalah keluarga.
Memperkenalkan Alkitab Sejak Dini
Dengan mengambil momentum Bulan Kitab Suci Nasional (BKSN) tahun 2010 dengan tema “ Memperkenalkan Kitab Suci Kepada Anak-Anak Sejak Dini” kiranya tepatlah bagi kita sebagai Gereja Katolik Keuskupan Bogor untuk memberikan sumbangan pendidikan nilai-nilai kehidupan yang boleh kita sebut nilai-nilai pendidikan Katolik, seperti: kejujuran, disiplin, cinta lingkungan, pengendalian diri dan emosi, dan sebagainya.
Dengan membacakan atau menceritakan kisah-kisah yang tertulis dalam kitab suci kepada anak-anak, sangat membantu dalam mengenal iman Katolik, meneladani dan mengikuti perintah Yesus. Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang senantiasa membaca kitab suci maka ia akan berlaku demikian untuk seumur hidupnya. Sebaliknya, jika anak-anak tidak dibiasakan sejak kecil untuk bergelut dengan kitab suci maka sampai menjadi seorang dewasa, anak-anak akan tetap berlaku demikian. Jika hal itu sudah kita lakukan secara baik dan terarah kita telah mewariskan harta yang tak akan habis dimakan ngengat kepada generasi penerus Gereja di masa yang akan datang.
Tidak Berhenti Pada Pengakuan Iman
Sebagai orang Katolik, bahwa kita diselamatkan karena iman kepada Kristus. Mungkin kita sudah berani mengakui bahwa kita adalah pengikut Kristus. Sebagian dari kita barangkali bahkan siap menderita untuk membela imannya. Sayang, iman kita seringkali berhenti pada taraf pengakuan yang mantap, tanpa pemahaman yang memadai. Karena itu, kiranya baik dan bergunalah kalau kita meningkatkan pemahaman kita tentang iman kita.
Situasi yang ironis terjadi dibeberapa kalangan anak-anak, yang dapat membuat iman anak itu tidak berkembang adalah anggapan bahwa mereka masih terlalu kecil, si anak dianggap belum tahu, maka ketika orangtua atau orang dewasa akan berdoa, anak sering untuk tidak terlibat aktif. Dalam Perayaan Ekaristi di Gereja terkadang anak-anak tidak dididik secara sungguh-sungguh, bahkan beberapa orangtua dalam menjaga kekusukan dalam berdoa menganjurkan bagi anak-anak agar berada diluar Gereja sampai berakhirnya Perayaan Ekaristi. Lalu kapan anak-anak itu dididik?
Teladan Yang Hilang
Karena dianggap masih terlalu kecil, sehingga masalah iman adalah untuk orang dewasa saja. Hal ini berbeda dengan keluarga Yohanes Robertus Ruslan, dalam wawancara seputar keluarga (orangtua) sebagai teladan untuk membawa anak-anaknya agar semakin mencintai Tuhan dalam hidup sebagai keluarga Katolik yang baik, ayah 7 anak ini mengatakan “ dalam mendidik anak-anaknya yang masih kecil seperti berdoa, membuat tanda salib, berlutut dan mengucapkan doa-doa sederhana sudah mereka lakukan bahkan sejak putra-putri mereka masih dalam kandungan.
Meski mungkin si kecil belum bisa mengungkapkan apa yang disebut siapa Allah, siapa Tuhan, siapa Yesus, siapa Maria dan para Kudus….” Namun si kecil sudah sering mengungkapkannya dan diungkapkan dengan suatu sikap yang hormat. Disinilah dididikan sikap iman untuk sesuatu yang seharusnya dihormati. Anak yang dididik dalam keluarga semcam ini bisa dengan tenang diajak ke gereja, meskipun tidak diikuti sepenuhnya, paling tidak ada sikap tenang. Ini yang disebut dengan sikap iman yang ditujukan kepada si kecil. Suatu teladan yang mulai hilang dalam keluarga jaman sekarang sehingga anak menjadi sulit untuk berkembang dalam iman, mungkin karena orangtua tidak tahu atau merasa tidak tahu, padahal tahu.
Membedakan Pengetahuan Iman dan Sikap Iman
Kita perlu membedakan anatara pengetahuan iman dan sikap iman. Pengetahuan iman adalah yang dimiliki oleh para katekis, para filsafat dan teolog, para pastor dan kitab sucipun harus memahami secara mendetail. Sedangkan sikap iman, bisa dimiliki oleh setiap orang! Karena kita beriman. Sikap iman inilah yang perlu didiwariskan dan dididik kepada anak-anak harapan dan masa depan gereja.
Selain itu masalah kebudayaan kita yang sangat membedakan status. Dalam keluarga misalnya kerap terjadi perbedaan seperti status ayah atau ibu dengan anak atau bahkan dengan pembantu sekalipun. Bahkan dalam doa bersama status dalam keluarga juga masih dibawa. Jika yang mampu memimpin doa atau membaca Kitab Suci adalah bapak atau ibu maka selanjutnya akan selalu bapak atau ibu. Anggota keluarga yang lain dianggap tidak mampu. Sikap dan tindakan ini adalah sebuah tindakan yang tidak berada dalam pemberdayaan iman atas anggota keluarga. Mengapa kita tidak membagikan tugas kepada anak-anak? Jika kita ingin memberdayakan iman anak-anak?.
Struktur budaya selain diubah di dalam keluarga, tetapi juga di lingkungan, diwilayah maupun di paroki. Misalnya saja jika ada ketua lingkungan yang mampu dan trampil dalam berbagai hal, maka segalanya diserahkan kepadanya. Akibatnya yang lain menjadi penonton dan imbasnya adalah banyak yang tidak mau melibatkan diri, menjadi takut, bila mau melibatkan diri nantinya akan diberikan tugas. Ternyata banyak yang berpotensi namun yang terlibat itu lagi… itu lagi…
________________
(deel/ majalah comunicare)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar