Sebagai orang Islam sekaligus orang Sunda yang memiliki prinsip hidup ‘Kawas gula jeung peueut (hidup rukun saling menyayangi, tak pernah berselisih), praktek-praktek intoleransi yang dilakukan oleh (FPI, Garis, HASMI, Organisasi Pagar Aqidah (GARDAH), Koalisi Anti Pemurtadan, dll) sudah tidak mencermin prinsip hidup orang sunda yang hidup rukun, saling menyayangi, dan tak pernah berselisih.
JANGKARKEADILAN.COM, BOGOR – Hal itu dikatakan Achmad Ubaidillah dalam acara Rapat Kerja (Reker) Forum Masyarakat Katolik Indonesia (FMKI) Keuskupan Bogor di Kampus Diklat Kemendagri Kemang Bogor, (6/12/2014) beberapa waktu lalu tentang Pluralisme di Tatar Sunda.
Menguatnya radikalisme agama di tatar Sunda atau praktek intoleransi yang kini menjadi bahan sorotan media baik lokal maupun internasional, menurut lulusan Sastra Prancis Universitas Indonesia adalah semangat mayotariatisme yang salah yang dilakukan oleh aliran islam radikal.
“Saya tidak setuju dengan praktek semangat mayotariatisme yang dilakukan oleh aliran islam radikal. Tindakan itu harus kita lawan bersama-sama termasuk umat katolik”.
Soal keberadaan kelompok islam garis keras yang kini sangat meresahkan masayarakat Indonesia, telah melakukan penodaan terhadap hakikat dan substansi Islam itu sendiri. Tindakannya telah bertentangan dengan semboyan, ajaran dan spirit Islam yang menghadirkan dirinya sebagai ‘rahmatan lil 'alamin’ (rahmat bagi seru sekalian alam) dan ‘ayatan lil 'alamin’ (tanda kehadiran Sang Khalik bagi semesta).
Kepada Wartawan, Ubaidillah menuturkan “Akar histori yang melibatkan semua unsur agama dalam mencapai kemerdekaan adalah modal dasar kita untuk terus melakukan silahturahmi. Nahdlatul 'Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang sepertinya tidak bisa berbuat banyak soal tindakan kekerasan yang dilakukan Islam radikal bahkan negara yang tergolong diam dan tidak bisa berbuat banyak, dan ini menjadi tugas kita untuk melakukan pembinaan, edukasi dan advokasi hingga ke level akar rumput. Karena disana sangat rawan untuk mereka lakukan tindak kekerasan gaya Islam demokrat dan modern”.
Masih menurut Direktur Pusat Studi Pesantren Al Falaq Bogor Barat ini, bahwa kekerasan yang dilakukan oleh kelompok Islam radikal, persoalannya adalah bukan pada masalah ras, etnis atau agama tetapi lebih ke bagaimana cara padang adanya keberagamaan dan kemasyarakatan. Soal ideologi kekerasan bisa saja dipunyai dan diproduksi oleh siapapun. Salah satu solusi yang bisa dilakukan adalah menyampaikan khutbah perdamaian, toleransi, kasih sayang, harmonisasi dalam setiap khutbah Jum'at. Masjid tidak menjadi arena untuk memproduksi kekerasan atau memabangun nalar kekerasan dan kebencian. Karena di masjid atau di tempat keagamaan apapun sebenarnya ngga boleh itu. Kepada generasi muda, diingatkannya bahwa untuk menjadi generasi muda yang sadar bahwa kehidupan bersama menjadi sebuah kebutuhan untuk membangun rasa persaudaraan, persahabatan. Itu yang diajarkan oleh Islam, Kristen, Hindu, Budha dan agama lainnya.
______________
(Darius Leka, SH)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar