![]() |
Perselisihan terjadi bukan karena utang, bukan karena warisan, tapi karena…
bantuan sosial.
Bukan bansos negara, melainkan bantuan dari para donatur
yang hatinya lebih luas dari dompetnya.
Masalahnya sederhana: jumlah bantuan tak sebanding dengan
jumlah warga.
Masalahnya rumit: ada yang merasa difitnah, lalu mempolisikan tetangganya.
Hanya untuk bertahan hidup, orang bisa marah.
Dan ketika perut kosong, nama baik pun bisa jadi taruhan.
Mari kita luruskan.
Ada yang namanya Bansos — Bantuan Sosial — dasar hukumnya:
- UU
No. 11 Tahun 2009
tentang Kesejahteraan Sosial
- Perpres
No. 63 Tahun 2017
tentang Penyaluran Bansos Non Tunai
Ada juga Banpres — Bantuan Presiden — dasar hukumnya:
- UU
No. 20 Tahun 2019
tentang APBN
- PMK
No. 48/PMK.05/2008
tentang Dana Operasional Presiden dan Wapres
Jadi, jangan asal tuduh. Jangan asal lapor. Jangan asal
viral.
Hukum punya dasar, bukan sekadar rasa.
Dalam KUHP, fitnah bisa dikenai sanksi pidana.
Dalam UU ITE, pencemaran nama baik bisa berujung jeruji.
Tapi di tengah pandemi, apakah kita mau menambah luka dengan
saling melukai?
Hukum bukan alat balas dendam.
Ia adalah penuntun agar kita tetap waras di tengah kekacauan.
Saya sadar, pandemi ini menghantam semua lini.
Termasuk profesi saya sebagai lawyer — tanpa gaji, tanpa tunjangan, hanya
berbekal idealisme dan sepuluh jari.
Tapi sepuluh jari itu bukan untuk menunjuk, melainkan untuk
bekerja.
Bukan untuk mencaci, melainkan untuk merangkul.
Di tengah krisis, bersyukur adalah bentuk tertinggi dari
kecerdasan sosial.
Jangan ribut soal bantuan.
Jangan bertengkar di depan tetangga.
Jangan jadikan dapur orang lain sebagai panggung drama.
Mari berusaha dengan cara halal.
Mari hidup dengan cara bermartabat.
Karena Tuhan menolong mereka yang masih beriman dan berpengharapan — bukan
mereka yang sibuk menyalahkan.
Adv. Darius Leka, S.H., M.H.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar