Rabu, 02 Agustus 2017

PP Pengupahan demi Buruh dan Pengusaha

JANGKARKEADILAN.COM, JAKARTA – Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) 78/2015 tentang Pengupahan. Poin penting dari beleid baru itu adalah formula baku upah minimum yakni didasarkan pada laju inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Formula itu menjadi dasar bagi gubernur untuk menetapkan besarnya upah minimum buruh setiap tahun.

Terbitnya aturan hukum yang memayungi formula baru upah minimum buruh diapresiasi banyak kalangan, terutama pengusaha. Sebab hal ini memberi kepastian dalam menyusun rencana bisnis. Adanya formula baku juga dianggap cukup penting karena mengikat seluruh pemangku kepentingan, terutama pemerintah daerah agar tidak mempolitisasi isu upah minimum buruh ini demi kepentingan politik praktis mereka.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak kepala daerah dan calon kepala daerah yang menjanjikan kenaikan upah minimum sesuai tuntutan buruh. Mereka berharap langkah itu menuai dukungan politik dari kalangan buruh yang memang jumlahnya sangat signifikan untuk memenangi kontestasi pemilihan kepala daerah.

Kenaikan upah minimum yang dijanjikan kepala daerah ternyata menjadi beban bagi pengusaha. Sebab, besaran kenaikannya merupakan hasil kompromi politis, tidak didasarkan pada kalkulasi kondisi ekonomi dan kondisi keuangan masing-masing perusahaan. Itulah mengapa, PP Pengupahan ini cukup melegakan pengusaha, setidaknya upah minimum tidak lagi menjadi komoditas politik. Di sisi lain, kalangan buruh memprotes dan menuntut PP tersebut dicabut.

Setidaknya ada dua alasan mengapa buruh keberatan dengan PP Pengupahan. Pertama, buruh menolak formula penetapan upah minimum yang mendasarkan pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Mereka menganggap besaran kenaikannya lebih kecil dibandingkan formula yang digunakan selama ini, yang mengikuti indeks kebutuhan hidup layak (KHL).

Kedua, buruh keberatan karena penetapan upah minimum tidak lagi melalui forum tripartit, yakni pengusaha, buruh, dan pemerintah. Buruh yang diwakili organisasi buruh, selama ini turut membahas besaran kenaikan upah minimum setiap tahun.

Terkait keberatan buruh, ada beberapa hal yang perlu dicermati. Pertama, kurangnya pemahaman mengenai pengertian upah minimum. PP 78/2015 menegaskan, bahwa upah minimum hanya berlaku bagi pekerja yang baru mulai bekerja, atau yang masa kerjanya di bawah satu tahun. Untuk pekerja yang telah bekerja lebih dari satu tahun, besaran upahnya merupakan kesepakatan bipartit antara buruh dan pengusaha.

Kedua, persoalan upah harus memperhatikan kondisi objektif dua pihak, yakni pengusaha dan buruh. Atas nama penghapusan upah murah, buruh atau siapapun tidak bisa memaksakan kehendaknya kepada pengusaha untuk menaikkan upah di atas kewajaran. Sebaliknya, atas nama efisiensi, pengusaha juga tidak selayaknya menekan upah buruh serendah mungkin.

 Formula upah minimum yang dibakukan dalam PP 78/2015 merupakan winwin solution, karena menjaga besaran upah minimum pada level yang terukur. Parameter objektif yang digunakan adalah laju inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Dalam kondisi ini kaum buruh sejatinya diuntungkan dengan adanya PP 78/2015, karena ada kepastian upah minimum naik setiap tahun, meskipun ekonomi mengalami kontraksi atau pertumbuhan negatif. Sebab, masih ada laju inflasi yang menjadi dasar kenaikan upah. Dengan kata lain, PP Pengupahan merupakan jaring pengaman bagi buruh.

Buruh juga berkesempatan memperoleh kenaikan yang lebih besar jika pertumbuhan ekonomi meningkat tajam. Kondisi ini tentu menuntut tingginya produktivitas segenap aspek perekonomian, termasuk produktivitas buruh. Dengan demikian, formula pengupahan ini juga meletakkan aspek fairness, di mana output yang diterima setara dengan input atau produktivitas yang diberikan.

Sebaliknya bagi pengusaha, sejatinya merupakan beban. Sebab, manakala ekonomi mengalami kontraksi pengusaha tetap berkewajiban menaikkan upah minimum. Namun, mereka tetap melihat aturan baru ini sebagai aspek penting dalam rangka memberi kepastian menyusun rencana usaha. Demikian pula bagi pengusaha yang baru akan berinvestasi, menjadi acuan penting untuk menyiapkan strategi bisnis agar dapat memenuhi aturan pengupahan yang telah digariskan pemerintah.

Dalam konteks adanya kepastian dalam berusaha, PP Pengupahan diyakini juga mampu menjaring investasi baru yang diperlukan untuk menyerap pengangguran saat ini mencapai jumlah 7,5 juta orang.

Ketiga, terkait peran organisasi buruh, masyarakat sejatinya sangsi dengan peran mereka selama ini. Dari latar belakang tokoh-tokoh yang vokal dan kerap menjadi inisiator gerakan buruh, mereka patut diduga tidak berangkat dari kalangan buruh. Bahkan ditengarai mereka menggunakan kekuatan buruh sebagai alat politik.

Tindakan yang dilakukan pun terkadang tidak mencerminkan pembelaan terhadap kaum buruh. Contohnya, melakukan sweepingburuh yang tetap bekerja dan memaksa untuk mengikuti demonstrasi buruh.

Cara-cara seperti ini tentu merugikan buruh yang ingin tetap bekerja demi menafkahi keluarga mereka. Peran organisasi buruh bukannya tidak ada. Mereka tetap diharapkan kontribusinya untuk membahas isu-isu perburuhan, seperti upaya meningkatkan produktivitas kaum buruh di Tanah Air dalam menghadapi persaingan dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

Di sisi lain, jika keberatan dengan substansi aturan tersebut, organisasi buruh sebaiknya menempuh jalur hukum dengan mengajukan uji material ke Mahkamah Konstitusi (MK). Bagaimana pun cara-cara demonstrasi, apalagi dengan mengerahkan massa buruh besar-besaran dan dilakukan berulang kali, sejatinya merugikan buruh sendiri. Sebab, produktivitas otomatis menurun akibat berkurangnya jam kerja, yang otomatis mengurangi kemampuan perusahaan untuk memenuhi hak-hak buruh.

Semua pihak perlu menyadari bahwa esensi dari PP Pengupahan sejatinya memberi kepastian bagi pengusaha dan buruh, melalui formula upah minimum yang didasarkan pada kondisi objektif di perekonomian nasional. Dengan formula semacam ini, tidak ada lagi diktator mayoritas dan tirani minoritas dalam penetapan upah minimum buruh.

___________________________
Sumber: www.sp.beritasatu.com/ Foto: Tribun Pontianak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar