Rabu, 02 Agustus 2017

Ketika Palu Kehilangan Gema; 33 Hakim dan Bayang-Bayang Etika


JANGKARKEADILAN.COM, JAKARTA – 26 Juli. Di balik toga yang anggun dan palu yang sakral, tersimpan kisah yang tak selalu mulia. Komisi Yudisial (KY) kembali mengusulkan sanksi kepada Mahkamah Agung (MA) terhadap 33 hakim yang diduga menyalahi Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Sebuah angka yang tak kecil, dan sebuah ironi di tengah harapan akan keadilan yang tak bercela.

Juru Bicara KY, Farid Wajdi, mengungkapkan bahwa usulan sanksi ini lahir dari sidang pleno atas 14 laporan yang dinyatakan terbukti. Rinciannya cukup mencengangkan:

  • 16 hakim melakukan kesalahan ketik dalam putusan. Typo yang bukan sekadar salah huruf, tapi bisa salah nasib.
  • 10 hakim dinilai tidak profesional. Entah karena malas, lalai, atau terlalu santai dalam menimbang nasib orang.
  • 3 hakim dianggap tidak adil. Ironis, karena keadilan seharusnya menjadi napas mereka.
  • 3 hakim berselingkuh. Ketika ruang sidang menjadi tempat bermain rasa.
  • 1 hakim tidak menjaga martabat. Entah martabat siapa yang dimaksud, tapi jelas bukan martabat hukum.

Dari 33 hakim terlapor, sembilan berasal dari Jawa Timur. Disusul Sumatera Utara (enam hakim) dan DKI Jakarta (tiga hakim). Sebuah peta yang menunjukkan bahwa pelanggaran etika tak mengenal batas geografis. Ia bisa muncul di mana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja.

Menurut Farid, para hakim ini berpotensi dibawa ke sidang Majelis Kehormatan Hakim (MKH). Di sana, mereka bisa membela diri atau menerima sanksi. Dari 33 nama, KY mengusulkan:

  • 27 hakim mendapat sanksi ringan.
  • 5 hakim mendapat sanksi sedang.
  • 1 hakim mendapat sanksi berat: pemberhentian tidak dengan hormat.

Sanksi yang bukan sekadar hukuman, tapi juga pesan: bahwa etika bukan aksesoris, melainkan fondasi.

Pasal 22D ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2011 memberi mandat kepada KY untuk mengusulkan sanksi. Tapi pertanyaannya: apakah sanksi cukup untuk mengembalikan kepercayaan publik? Apakah publik masih percaya bahwa palu hakim adalah suara Tuhan, bukan gema ego?

Karena di negeri ini, keadilan sering kali harus berjuang melawan bayang-bayang birokrasi, godaan pribadi, dan kelalaian yang dibungkus formalitas.

Hakim bukan dewa. Tapi mereka adalah penjaga gerbang keadilan. Ketika mereka tergelincir, maka hukum pun ikut goyah. Dan kita, sebagai warga negara, berhak tahu siapa yang menjaga hukum, dan siapa yang merusaknya.

Komisi Yudisial telah bersuara. Kini giliran Mahkamah Agung menentukan: apakah palu akan kembali bergema dengan wibawa, atau hanya menjadi simbol yang kehilangan makna.

 

Adv. Darius Leka, S.H., M.H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar