Jumat, 07 Juli 2017

Palangkaraya; Kota yang Selalu Menunggu Takhta


JANGKARKEADILAN, JAKARTA – “Mari kita jadikan Jakarta dan Surabaya sebagai kota-kota mati,” seru Bung Karno pada 1965. Bukan kutukan, tapi kritik. Bukan satire, tapi strategi.

Di jantung Kalimantan, di antara rimba dan rawa, berdiri Palangkaraya—kota yang sejak 1957 telah memikul beban mimpi seorang proklamator. Bung Karno, dengan tangan gemetar menandatangani master plan kota ini, bukan sekadar membangun ibu kota provinsi, tapi menanam benih ibu kota negara. Sebuah visi yang nyaris mistis: memindahkan pusat kekuasaan dari pulau yang terlalu padat ke tanah yang lebih adil secara geografis.

Namun, seperti puisi yang tak selesai ditulis, Palangkaraya terus menunggu. Menunggu janji ditepati. Menunggu sejarah ditegakkan.

Kini, di tahun-tahun penuh wacana dan warta, Menteri PPN/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro, kembali meniupkan angin harapan. Kajian pemindahan ibu kota, katanya, akan rampung tahun ini. Tapi, apakah angin itu akan membawa kabar baik ke Palangkaraya, atau hanya sekadar angin lalu?

Kita pernah mendengar ini sebelumnya. Tahun 2010, Presiden SBY menggelar tiga opsi: tetap di Jakarta, pisah pusat pemerintahan, atau bangun ibu kota baru. Tapi seperti banyak rencana strategis di negeri ini, semuanya berakhir di rak-rak berdebu birokrasi.

Secara hukum, tidak ada satu pun pasal dalam UUD 1945 yang menyebut Jakarta sebagai ibu kota secara eksplisit. Artinya, secara normatif, pemindahan ibu kota bukanlah kudeta konstitusional, melainkan hak prerogatif negara untuk menata ulang pusat kekuasaan demi pemerataan.

Namun, pertanyaannya: mengapa Palangkaraya selalu disebut, tapi tak pernah dipilih? Apakah karena ia terlalu sunyi untuk didengar, atau terlalu jauh dari pusat lobi dan lumbung suara?

Menurut Bappenas, Palangkaraya memiliki keunggulan geostrategis: bebas gempa, tanpa gunung berapi, dan tidak berbatasan langsung dengan laut. Sebuah benteng alami dari bencana. Tapi ironisnya, yang lebih sering mengguncangnya adalah gempa wacana.

Setiap kali isu pemindahan ibu kota mencuat, Palangkaraya kembali jadi primadona sementara. Lalu dilupakan. Seperti mantan yang hanya dihubungi saat butuh pelarian.

Bung Karno bukan sekadar arsitek kemerdekaan, tapi juga perancang masa depan. Dalam Seminar TNI-AD I di Bandung, 1965, ia kembali menyebut Palangkaraya sebagai calon ibu kota. Ia melihat Jakarta dan Surabaya sebagai simbol ketimpangan. “Modal hanya berpusat di kedua kota besar itu,” katanya, “dan seolah-olah mengeksploitir daerah-daerah di luar Jawa.”

Apakah kita akan terus mengabaikan peringatan itu, hingga ketimpangan menjadi tak tertanggungkan?

Palangkaraya bukan sekadar kota. Ia adalah simbol dari janji yang belum ditepati, dari keadilan yang tertunda. Jika hukum adalah alat untuk menciptakan keadilan spasial, maka pemindahan ibu kota bukan hanya soal gedung dan jalan tol, tapi soal menebus utang sejarah.

Dan jika negara ini serius ingin membangun dari pinggiran, maka Palangkaraya bukan sekadar opsi—ia adalah kewajiban moral.

Karena kota ini sudah terlalu lama menunggu. Dan sejarah, seperti rakyat, tak suka terus-menerus dikhianati.

 

Adv. Darius Leka, S.H., M.H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar