Di jantung Kalimantan, di antara rimba dan rawa, berdiri
Palangkaraya—kota yang sejak 1957 telah memikul beban mimpi seorang
proklamator. Bung Karno, dengan tangan gemetar menandatangani master plan kota
ini, bukan sekadar membangun ibu kota provinsi, tapi menanam benih ibu kota
negara. Sebuah visi yang nyaris mistis: memindahkan pusat kekuasaan dari pulau
yang terlalu padat ke tanah yang lebih adil secara geografis.
Namun, seperti puisi yang tak selesai ditulis, Palangkaraya
terus menunggu. Menunggu janji ditepati. Menunggu sejarah ditegakkan.
Kini, di tahun-tahun penuh wacana dan warta, Menteri
PPN/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro, kembali meniupkan angin harapan.
Kajian pemindahan ibu kota, katanya, akan rampung tahun ini. Tapi, apakah angin
itu akan membawa kabar baik ke Palangkaraya, atau hanya sekadar angin lalu?
Kita pernah mendengar ini sebelumnya. Tahun 2010, Presiden
SBY menggelar tiga opsi: tetap di Jakarta, pisah pusat pemerintahan, atau
bangun ibu kota baru. Tapi seperti banyak rencana strategis di negeri ini,
semuanya berakhir di rak-rak berdebu birokrasi.
Secara hukum, tidak ada satu pun pasal dalam UUD 1945 yang menyebut Jakarta sebagai ibu kota secara eksplisit. Artinya, secara normatif, pemindahan ibu kota bukanlah kudeta konstitusional, melainkan hak prerogatif negara untuk menata ulang pusat kekuasaan demi pemerataan.
Namun, pertanyaannya: mengapa Palangkaraya selalu disebut,
tapi tak pernah dipilih? Apakah karena ia terlalu sunyi untuk didengar, atau
terlalu jauh dari pusat lobi dan lumbung suara?
Menurut Bappenas, Palangkaraya memiliki keunggulan
geostrategis: bebas gempa, tanpa gunung berapi, dan tidak berbatasan langsung
dengan laut. Sebuah benteng alami dari bencana. Tapi ironisnya, yang lebih
sering mengguncangnya adalah gempa wacana.
Setiap kali isu pemindahan ibu kota mencuat, Palangkaraya
kembali jadi primadona sementara. Lalu dilupakan. Seperti mantan yang hanya
dihubungi saat butuh pelarian.
Bung Karno bukan sekadar arsitek kemerdekaan, tapi juga
perancang masa depan. Dalam Seminar TNI-AD I di Bandung, 1965, ia kembali
menyebut Palangkaraya sebagai calon ibu kota. Ia melihat Jakarta dan Surabaya
sebagai simbol ketimpangan. “Modal hanya berpusat di kedua kota besar itu,”
katanya, “dan seolah-olah mengeksploitir daerah-daerah di luar Jawa.”
Apakah kita akan terus mengabaikan peringatan itu, hingga
ketimpangan menjadi tak tertanggungkan?
Palangkaraya bukan sekadar kota. Ia adalah simbol dari janji
yang belum ditepati, dari keadilan yang tertunda. Jika hukum adalah alat untuk
menciptakan keadilan spasial, maka pemindahan ibu kota bukan hanya soal gedung
dan jalan tol, tapi soal menebus utang sejarah.
Dan jika negara ini serius ingin membangun dari pinggiran,
maka Palangkaraya bukan sekadar opsi—ia adalah kewajiban moral.
Karena kota ini sudah terlalu lama menunggu. Dan sejarah,
seperti rakyat, tak suka terus-menerus dikhianati.
Adv. Darius Leka, S.H., M.H.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar