Pada Kamis, 6 Juli 2017, aula barat Lapas Sukamiskin berubah
fungsi. Bukan lagi ruang rehabilitasi, tapi panggung sandiwara politik.
Sebanyak 14 anggota Panitia Hak Angket KPK datang bukan membawa keadilan, melainkan
membawa mikrofon untuk mendengar keluhan para terpidana korupsi.
Mereka bukan saksi. Mereka bukan korban. Mereka adalah
pelaku perampokan uang negara yang telah divonis sah oleh pengadilan. Tapi hari
itu, mereka diberi panggung. Diberi hak bicara. Diberi ruang untuk mengeluh
tentang prosedur hukum yang katanya “sewenang-wenang.”
Ketua Pansus, Agun Gunandjar, menyebut ada intimidasi,
pelanggaran hak asasi, bahkan pelanggaran privat. Tapi publik bertanya: sejak
kapan suara koruptor menjadi sumber valid untuk menilai lembaga penegak hukum?
Bambang Widjojanto tak bisa menyembunyikan kegelisahannya.
“Mereka mencari alasan dari pelaku perampokan uang negara… apakah bukan suatu
tindakan yang melawan kewarasan?” katanya. Dan kita pun bertanya: apakah ini
bentuk baru dari komodifikasi keadilan?
Jika hukum adalah pisau, maka nurani adalah tangan yang
mengarahkannya. Tapi di Sukamiskin, tangan itu tampak gemetar. Bukannya
menegakkan keadilan, malah menggali lubang untuk melemahkan KPK.
Donal Fariz dari ICW menyebut ini sebagai “kolaborasi koruptor dan Panitia Angket.” Sebuah duet yang tak seharusnya terjadi. Sebuah simfoni yang nadanya sumbang.
Tak kurang dari 400 guru besar dan Koalisi Masyarakat Sipil
bersuara lantang. Mereka menolak hak angket yang dinilai sebagai alat politik
untuk membubarkan KPK. Mereka tahu, jika lembaga antirasuah dilemahkan, maka
korupsi akan kembali merajalela. Dan kita, rakyat, akan kembali menjadi korban.
Lapas Sukamiskin seharusnya menjadi tempat pertobatan. Tapi
hari itu, ia menjadi mimbar propaganda. Dan jika masyarakat diam, maka kita
sedang menyaksikan kejahatan yang tak lagi malu-malu.
“Bukankah sesungguhnya kita sedang ditampar kejahatan yang
makin brutal dan tak lagi bermoral?” — Bambang Widjojanto
Adv. Darius Leka, S.H., M.H.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar