Jaksa KPK Iskandar Marwanto, dengan suara yang tak bergetar,
menjatuhkan tuntutan: 6 tahun penjara, denda Rp 500 juta subsidair 6 bulan
kurungan, dan uang pengganti Rp 1,9 miliar. Jika tak dibayar dalam sebulan
setelah putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta benda akan disita. Hukum
bicara tegas, meski kadang telat datang.
Siti terbukti menyalahgunakan wewenang dalam pengadaan alkes
untuk mengantisipasi Kejadian Luar Biasa (KLB) tahun 2005 dan 2007. Ironis,
alkes yang seharusnya menyelamatkan nyawa justru menjadi alat untuk
menyelamatkan kepentingan.
Kasus ini bukan hanya soal pengadaan. Ini soal pertemuan-pertemuan yang tak tercatat dalam rekam medis, tapi tercatat dalam rekam hukum. Siti beberapa kali bertemu dengan Direktur Utama PT Indofarma Global Medika dan Nuki Syahrun, Ketua Sutrisno Bachir Foundation (SBF). Nuki adalah adik ipar dari mantan Ketua Umum PAN, Sutrisno Bachir.
Menurut jaksa, penunjukan langsung terhadap PT Indofarma
adalah bentuk bantuan Siti terhadap PAN. Di sini, alkes berubah menjadi alat
kampanye. Kesehatan publik dikorbankan demi kesehatan elektoral.
Jaksa KPK mengungkap: rekening Amien Rais menerima transfer
enam kali. Setiap kali, Rp 100 juta. Total Rp 600 juta. Transfer pertama: 15
Januari 2007. Transfer terakhir: 2 November 2007. Uang mengalir lebih lancar
dari darah. Tapi tak ada transfusi hukum yang menyusul.
Apakah ini bentuk sumbangan politik? Apakah ini bagian dari
skema? Hukum tak menjawab dengan puisi, tapi publik berhak bertanya dengan nada
lirih.
Siti Fadilah Supari pernah dikenal sebagai menteri yang
vokal, bahkan kontroversial. Tapi dalam kasus ini, ia tak bisa lagi bersembunyi
di balik jargon kesehatan. Ia bukan lagi dokter bangsa, tapi terdakwa negara.
Kasus ini mengajarkan satu hal: korupsi bisa menyusup ke
dalam laboratorium, menyamar sebagai kebijakan, dan menyebar lewat surat
keputusan. Ia tak butuh virus, cukup wewenang.
Kasus Siti adalah pengingat bahwa korupsi bukan hanya soal
uang, tapi soal arah kebijakan. Ketika pengadaan berubah menjadi pengabdian
pada partai, maka publik adalah pasien yang tak pernah sembuh.
Hukum telah bicara. Tapi apakah publik sudah mendengar?
Ataukah kita terlalu sibuk mencari alkes untuk menyembuhkan luka yang
ditinggalkan oleh kekuasaan?
Adv. Darius Leka, S.H., M.H.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar