Selasa, 09 Mei 2017

“Vonis, Banding, dan Tafsir yang Membelah Negeri”


JANGKARKEADILAN.COM, JAKARTA – Di negeri yang katanya menjunjung tinggi hukum dan kebebasan berpendapat, seorang gubernur dijatuhi vonis dua tahun penjara karena satu kalimat yang menyitir ayat suci. Basuki Tjahaja Purnama, atau yang lebih dikenal sebagai Ahok, bukan hanya dihukum karena kata-katanya, tapi karena makna yang ditafsirkan oleh banyak kepala, dengan banyak kepentingan.

Kasus ini bermula dari kunjungan Ahok ke Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, 27 September 2016. Di sana, ia menyebut Surat Al-Maidah ayat 51 dalam konteks politik. Kalimat itu, yang dalam ruang demokrasi seharusnya bisa diperdebatkan, justru menjadi peluru hukum yang menembus jabatannya.

Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara menyatakan Ahok bersalah melanggar Pasal 156a KUHP tentang penodaan agama. Vonis: dua tahun penjara. Ahok langsung menyatakan banding. “Saya akan melakukan banding,” ucapnya, dengan nada yang tak lagi sekeras kampanyenya.

Ironisnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) justru menuntut hukuman satu tahun penjara dengan dua tahun masa percobaan. Jaksa menghilangkan pasal penodaan agama dan hanya menuntut Ahok dengan pasal 156 KUHP tentang permusuhan terhadap golongan. Tapi hakim punya tafsir sendiri. Tafsir yang lebih tajam dari tuntutan.

Di sini, hukum tak lagi bicara dengan satu suara. Ia menjadi paduan suara yang sumbang. Jaksa dan hakim tak sejalan. Tafsir hukum menjadi arena tarik-menarik antara pasal dan persepsi.

Karena Ahok mengajukan banding, vonis itu belum berkekuatan hukum tetap. Berdasarkan UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah, kepala daerah yang terjerat kasus hukum belum bisa diberhentikan selama putusan belum inkrah. Maka, Ahok tetap menjabat. Setidaknya secara hukum. Tapi secara politik, ia sudah dijatuhkan oleh opini publik yang terbelah.

Kasus Ahok bukan sekadar perkara pidana. Ia adalah cermin retak dari relasi antara hukum dan politik. Ketika tafsir agama masuk ke ruang pengadilan, maka vonis tak lagi soal pasal, tapi soal tekanan sosial.

Ahok adalah mantan Bupati Belitung Timur, gubernur yang dikenal tegas, dan tokoh minoritas yang berani bicara. Tapi dalam kasus ini, keberanian menjadi beban. Kata-kata menjadi jerat. Dan hukum menjadi panggung drama yang tak lagi puitis.

Banding yang diajukan Ahok adalah bentuk perlawanan terhadap tafsir yang dianggap menyesatkan. Ia bukan hanya membela dirinya, tapi membela hak untuk berbicara. Di negeri yang katanya demokratis, tafsir tak seharusnya menjadi senjata. Ia seharusnya menjadi ruang dialog.

Apakah hukum kita cukup kuat untuk menampung perbedaan tafsir? Ataukah kita masih menjadikan ayat sebagai alat politik, dan vonis sebagai bentuk penghakiman sosial?

 

Adv. Darius Leka, S.H., M.H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar