Kasus ini bermula dari kunjungan Ahok ke Pulau Pramuka,
Kepulauan Seribu, 27 September 2016. Di sana, ia menyebut Surat Al-Maidah ayat
51 dalam konteks politik. Kalimat itu, yang dalam ruang demokrasi seharusnya
bisa diperdebatkan, justru menjadi peluru hukum yang menembus jabatannya.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara menyatakan
Ahok bersalah melanggar Pasal 156a KUHP tentang penodaan agama. Vonis: dua
tahun penjara. Ahok langsung menyatakan banding. “Saya akan melakukan banding,”
ucapnya, dengan nada yang tak lagi sekeras kampanyenya.
Ironisnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) justru menuntut hukuman satu tahun penjara dengan dua tahun masa percobaan. Jaksa menghilangkan pasal penodaan agama dan hanya menuntut Ahok dengan pasal 156 KUHP tentang permusuhan terhadap golongan. Tapi hakim punya tafsir sendiri. Tafsir yang lebih tajam dari tuntutan.
Di sini, hukum tak lagi bicara dengan satu suara. Ia menjadi
paduan suara yang sumbang. Jaksa dan hakim tak sejalan. Tafsir hukum menjadi
arena tarik-menarik antara pasal dan persepsi.
Karena Ahok mengajukan banding, vonis itu belum berkekuatan
hukum tetap. Berdasarkan UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah, kepala daerah
yang terjerat kasus hukum belum bisa diberhentikan selama putusan belum inkrah.
Maka, Ahok tetap menjabat. Setidaknya secara hukum. Tapi secara politik, ia
sudah dijatuhkan oleh opini publik yang terbelah.
Kasus Ahok bukan sekadar perkara pidana. Ia adalah cermin
retak dari relasi antara hukum dan politik. Ketika tafsir agama masuk ke ruang
pengadilan, maka vonis tak lagi soal pasal, tapi soal tekanan sosial.
Ahok adalah mantan Bupati Belitung Timur, gubernur yang
dikenal tegas, dan tokoh minoritas yang berani bicara. Tapi dalam kasus ini,
keberanian menjadi beban. Kata-kata menjadi jerat. Dan hukum menjadi panggung
drama yang tak lagi puitis.
Banding yang diajukan Ahok adalah bentuk perlawanan terhadap
tafsir yang dianggap menyesatkan. Ia bukan hanya membela dirinya, tapi membela
hak untuk berbicara. Di negeri yang katanya demokratis, tafsir tak seharusnya
menjadi senjata. Ia seharusnya menjadi ruang dialog.
Apakah hukum kita cukup kuat untuk menampung perbedaan
tafsir? Ataukah kita masih menjadikan ayat sebagai alat politik, dan vonis
sebagai bentuk penghakiman sosial?
Adv. Darius Leka, S.H., M.H.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar