Senin, 8 Mei 2017, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan
Keamanan, Wiranto, berdiri di podium Kemenko Polhukam. Dengan nada mantap, ia
menyatakan: “Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah hukum secara tegas
untuk membubarkan HTI.” Alasannya? HTI dianggap bertentangan dengan Pancasila
dan UUD 1945. Sebuah vonis ideologis, bukan yuridis.
Keputusan ini, kata Wiranto, bukan reaksi spontan. Ia hasil
“pengkajian panjang.” Tapi panjang tak selalu berarti dalam. Dan kajian tak
selalu berarti dialog.
Pemerintah memaparkan lima alasan pembubaran HTI:
- HTI
tak berkontribusi pada pembangunan nasional.
- Kegiatannya
bertentangan dengan asas dan tujuan Pancasila.
- Menimbulkan
benturan sosial yang mengancam ketertiban.
- Aspirasi
masyarakat mendesak tindakan tegas.
- Ini
bukan anti-ormas Islam, tapi demi menjaga keutuhan NKRI.
Alasan-alasan ini terdengar sahih. Tapi juga multitafsir. Apa batas “kontribusi positif”? Apa definisi “benturan sosial”? Dan siapa yang berhak menafsirkan Pancasila?
Pembubaran HTI merujuk pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013
tentang Organisasi Kemasyarakatan. UU ini, terutama setelah direvisi lewat
Perppu No. 2 Tahun 2017, memberi pemerintah kuasa besar untuk membubarkan ormas
tanpa proses pengadilan. Di sinilah hukum berubah menjadi palu yang tak perlu
palu sidang.
HTI memang bisa diperdebatkan. Tapi ketika pembubaran
dilakukan tanpa ruang pembelaan, maka demokrasi kehilangan satu pilar: due
process of law. Negara boleh kuat, tapi hukum harus adil. Dan keadilan tak
lahir dari keputusan sepihak.
Pancasila adalah dasar negara. Tapi ia bukan dogma yang
beku. Ia hidup dalam tafsir, dalam diskusi, dalam ruang publik yang terbuka.
Ketika negara memonopoli tafsir Pancasila, maka yang berbeda dianggap sesat.
Yang kritis dianggap subversif. Dan yang bertanya dianggap membahayakan.
HTI mungkin salah. Tapi apakah negara sudah benar?
Pembubaran HTI adalah preseden. Hari ini HTI, besok siapa?
Ketika hukum tunduk pada tafsir tunggal, maka ormas bukan lagi warga negara,
tapi target. Dan demokrasi bukan lagi ruang dialog, tapi ruang sunyi.
Negara yang kuat bukan yang membungkam perbedaan, tapi yang
mampu menampungnya. Karena dalam demokrasi, yang berbeda bukan musuh. Ia adalah
cermin. Dan kadang, cermin yang retak justru menunjukkan wajah kita yang
sebenarnya.
Adv. Darius Leka, S.H., M.H.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar