Senin, 08 Mei 2017

“Membubarkan Bayang-Bayang; HTI, Negara, dan Tafsir Tunggal Pancasila”


JANGKARKEADILAN.COM, JAKARTA – Di negeri yang katanya menjunjung tinggi demokrasi dan kebebasan berserikat, ada satu babak yang ditulis dengan tinta tebal: pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Bukan karena senjata, bukan karena makar bersenjata, tapi karena ide. Karena tafsir. Karena narasi.

Senin, 8 Mei 2017, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto, berdiri di podium Kemenko Polhukam. Dengan nada mantap, ia menyatakan: “Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah hukum secara tegas untuk membubarkan HTI.” Alasannya? HTI dianggap bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Sebuah vonis ideologis, bukan yuridis.

Keputusan ini, kata Wiranto, bukan reaksi spontan. Ia hasil “pengkajian panjang.” Tapi panjang tak selalu berarti dalam. Dan kajian tak selalu berarti dialog.

Pemerintah memaparkan lima alasan pembubaran HTI:

  1. HTI tak berkontribusi pada pembangunan nasional.
  2. Kegiatannya bertentangan dengan asas dan tujuan Pancasila.
  3. Menimbulkan benturan sosial yang mengancam ketertiban.
  4. Aspirasi masyarakat mendesak tindakan tegas.
  5. Ini bukan anti-ormas Islam, tapi demi menjaga keutuhan NKRI.

Alasan-alasan ini terdengar sahih. Tapi juga multitafsir. Apa batas “kontribusi positif”? Apa definisi “benturan sosial”? Dan siapa yang berhak menafsirkan Pancasila?

Pembubaran HTI merujuk pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. UU ini, terutama setelah direvisi lewat Perppu No. 2 Tahun 2017, memberi pemerintah kuasa besar untuk membubarkan ormas tanpa proses pengadilan. Di sinilah hukum berubah menjadi palu yang tak perlu palu sidang.

HTI memang bisa diperdebatkan. Tapi ketika pembubaran dilakukan tanpa ruang pembelaan, maka demokrasi kehilangan satu pilar: due process of law. Negara boleh kuat, tapi hukum harus adil. Dan keadilan tak lahir dari keputusan sepihak.

Pancasila adalah dasar negara. Tapi ia bukan dogma yang beku. Ia hidup dalam tafsir, dalam diskusi, dalam ruang publik yang terbuka. Ketika negara memonopoli tafsir Pancasila, maka yang berbeda dianggap sesat. Yang kritis dianggap subversif. Dan yang bertanya dianggap membahayakan.

HTI mungkin salah. Tapi apakah negara sudah benar?

Pembubaran HTI adalah preseden. Hari ini HTI, besok siapa? Ketika hukum tunduk pada tafsir tunggal, maka ormas bukan lagi warga negara, tapi target. Dan demokrasi bukan lagi ruang dialog, tapi ruang sunyi.

Negara yang kuat bukan yang membungkam perbedaan, tapi yang mampu menampungnya. Karena dalam demokrasi, yang berbeda bukan musuh. Ia adalah cermin. Dan kadang, cermin yang retak justru menunjukkan wajah kita yang sebenarnya.

 

Adv. Darius Leka, S.H., M.H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar