Mbah Gotho hidup lebih lama dari empat istrinya, dari Perang
Dunia, dari penjajahan Jepang dan Belanda, bahkan dari banyak negara yang baru
merdeka. Tapi umur panjang tak cukup hanya dengan cerita. Dalam hukum, klaim
harus dibuktikan. Dan di sinilah puitisnya usia bertabrakan dengan prosedur
birokrasi.
Tidak ada akta kelahiran resmi yang bisa diverifikasi secara
internasional. Tidak ada catatan sipil yang bisa mengalahkan sistem pencatatan
Prancis yang mengukuhkan Jeanne Calment sebagai manusia tertua: 122 tahun. Maka
Mbah Gotho tetap menjadi legenda, bukan rekor.
BBC, Daily Mail, Channel News Asia, RT News—semua menulis tentang Mbah Gotho. Tentang batu nisan yang dibeli sejak 1992. Tentang keinginannya untuk mati sejak lama. Tentang hidup sebagai soal menerima takdir. Tapi hukum tak bisa menerima takdir tanpa dokumen. Di mata hukum internasional, umur bukan soal cinta, tapi soal arsip.
Di Indonesia, pencatatan sipil baru mulai tertata setelah kemerdekaan.
Maka klaim kelahiran tahun 1870, meski diyakini oleh keluarga dan masyarakat,
tetap sulit diverifikasi. Hukum tak bisa mengandalkan ingatan, apalagi mitos.
Mbah Gotho adalah satire hidup tentang negara yang lambat
mencatat, tapi cepat menuntut. Ia hidup lebih lama dari banyak undang-undang,
tapi tak pernah tercatat sebagai pemilik rekor resmi. Ia adalah bukti bahwa
hukum kadang terlalu muda untuk memahami usia yang terlalu tua.
Di negeri yang sibuk mengurus e-KTP, Mbah Gotho adalah
pengingat bahwa identitas bukan hanya soal chip dan barcode, tapi soal jejak
sejarah yang tak bisa dipindai.
Mbah Gotho telah pergi. Ia tak meminta banyak, hanya agar
keluarganya mengikhlaskan. Ia tak menuntut pengakuan, hanya meninggalkan
cerita. Tapi hukum tetap bertanya: apakah umur bisa dibuktikan tanpa arsip?
Di sini, hukum dan kemanusiaan berpisah jalan. Karena ada
hal-hal yang tak bisa dibuktikan, tapi tetap layak dipercaya. Dan Mbah Gotho,
dengan senyum dan sesendok bubur terakhirnya, adalah salah satunya.
Adv. Darius Leka, S.H., M.H.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar