Kartu identitas Mbah Gotho memang mencantumkan tahun
kelahiran 1870. Tapi tanpa akta kelahiran atau verifikasi independen, dunia
hukum hanya bisa mengangguk sopan, bukan mengesahkan. Maka, meski dunia
menyebutnya manusia tertua, sejarah resmi tetap memegang nama Jeanne Calment
dari Prancis, yang wafat di usia 122 tahun.
Di sinilah hukum dan kemanusiaan berpisah jalan. Karena umur
panjang, dalam hukum, bukan soal napas yang panjang, tapi soal dokumen yang
lengkap.
The Guardian menulis: jika benar lahir tahun 1870, Mbah
Gotho telah menyaksikan dua Perang Dunia, penjajahan Belanda, pendudukan
Jepang, dan kemerdekaan Indonesia. Ia hidup lebih lama dari empat istrinya,
dari tiga generasi cicit, dan dari banyak negara yang bahkan belum berdiri saat
ia lahir.
Namun, ingatannya kabur. Ia tak bisa mengisahkan Perang Dunia I, tapi masih ingat saat disuruh mengumpulkan kayu oleh tentara Belanda. Ia masih ingat menggotong jenazah, entah siapa. Ia masih ingat, katanya, bahwa “kalau Belanda datang naik tank, tentara Indonesia yang salah ditembak.”
Tapi hukum tak bisa mencatat ingatan. Ia hanya mencatat yang
bisa dibuktikan.
Dalam hukum sipil, umur adalah angka yang harus
diverifikasi. Tapi dalam hukum sejarah, umur adalah narasi yang diwariskan.
Mbah Gotho mungkin tak tercatat sebagai manusia tertua, tapi ia tercatat
sebagai manusia yang paling sabar. “Jamune sabar lan nrimo,” katanya. Resep
umur panjangnya bukan vitamin, tapi ketabahan.
Ia menolak jarum suntik, memilih pulang dari rumah sakit,
dan akhirnya wafat 12 hari kemudian. Ia tak meminta banyak, hanya ingin
diikhlaskan. Dan mungkin, dalam diamnya, ia sedang menertawakan dunia yang
sibuk menghitung usia, tapi lupa menghargai hidup.
Mbah Gotho adalah satire hidup tentang negara yang baru
belajar mencatat setelah rakyatnya menua. Ia lahir sebelum Indonesia merdeka,
sebelum ada sistem pencatatan sipil, sebelum hukum mengenal e-KTP. Maka ketika
ia wafat, hukum hanya bisa berkata: “Kami tidak bisa memastikan.”
Padahal, ia adalah saksi hidup dari zaman yang tak tercatat.
Ia adalah arsip berjalan, yang tak pernah disahkan.
Mbah Gotho telah pergi. Ia tak meninggalkan warisan hukum,
tapi meninggalkan warisan makna. Ia mengajarkan bahwa hidup bukan soal
panjangnya, tapi soal diterimanya. Ia adalah pengingat bahwa hukum tak selalu
bisa menjangkau kebenaran, apalagi kearifan.
Dan mungkin, di balik batu nisan yang dibelinya sejak 1992,
Mbah Gotho sedang tersenyum. Karena akhirnya, ia mendapatkan yang ia dambakan:
kematian yang damai, setelah hidup yang panjang, dan cinta yang tak pernah
dicatat negara.
Adv. Darius Leka, S.H., M.H.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar