Ketua Majelis Ulama Indonesia, Amidhan Shaberah, kaget.
“Islam itu agama damai,” katanya. Ia menegaskan, tidak ada ajaran Islam yang
membenarkan pembunuhan terhadap orang kafir, kecuali dalam kondisi perang. Dan
Indonesia, katanya, bukan negara perang. Maka, ajaran itu bukan hanya salah,
tapi sesat. Bukan hanya keliru, tapi berbahaya.
Dalam hukum, pendidikan adalah hak. Tapi ketika hak itu disusupi
oleh paham radikal, maka negara wajib turun tangan. Karena buku pelajaran bukan
tempat untuk menyemai kebencian.
Buku itu diterbitkan oleh Musyawarah Guru Mata Pelajaran. Materi yang sama juga ditemukan dalam buku resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Halaman 170, kata Tempo, memuat kalimat yang identik. Maka pertanyaannya: siapa yang menyunting? Siapa yang menyetujui? Dan mengapa tidak ada sistem yang bisa menyaring sebelum menyebar?
Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, pendidikan harus menjunjung nilai-nilai agama, moral, dan kebangsaan.
Tapi ketika buku pelajaran mengajarkan pembunuhan, maka hukum telah gagal
membaca sebelum anak-anak membaca.
Amidhan berkata, “Perang tak bisa diputuskan oleh kelompok.”
Tapi buku itu seolah memutuskan sendiri. Ia mengajarkan perang di tengah damai.
Ia mengajarkan kebencian di tengah keberagaman. Ia mengajarkan kematian di
tengah kehidupan.
Dan negara, yang sibuk menyusun kurikulum, lupa menyusun
pertahanan terhadap radikalisme yang menyusup lewat lembar kerja.
Buku pelajaran bukan sekadar alat ajar. Ia adalah alat
negara untuk membentuk warga. Maka, setiap kata di dalamnya harus tunduk pada
hukum. Harus tunduk pada nilai-nilai konstitusi. Harus tunduk pada akal sehat.
Karena jika tidak, maka kita sedang mencetak generasi yang
belajar membunuh sebelum belajar berpikir.
Adv. Darius Leka, S.H., M.H.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar