Kamis, 04 Mei 2017

“Radikalisme di Halaman 78; Ketika Buku Pelajaran Menjadi Senjata”


JANGKARKEADILAN JAKARTA – 
 Di negeri yang katanya menjunjung toleransi, sebuah buku pelajaran ditemukan mengajarkan kebencian. Bukan di ruang gelap, tapi di ruang kelas. Bukan di forum ekstremis, tapi di halaman 78 buku Pendidikan Agama Islam untuk SMA. Di sana tertulis: orang yang menyembah selain Allah boleh dibunuh. Dan tiba-tiba, pelajaran berubah menjadi ancaman.

Ketua Majelis Ulama Indonesia, Amidhan Shaberah, kaget. “Islam itu agama damai,” katanya. Ia menegaskan, tidak ada ajaran Islam yang membenarkan pembunuhan terhadap orang kafir, kecuali dalam kondisi perang. Dan Indonesia, katanya, bukan negara perang. Maka, ajaran itu bukan hanya salah, tapi sesat. Bukan hanya keliru, tapi berbahaya.

Dalam hukum, pendidikan adalah hak. Tapi ketika hak itu disusupi oleh paham radikal, maka negara wajib turun tangan. Karena buku pelajaran bukan tempat untuk menyemai kebencian.

Buku itu diterbitkan oleh Musyawarah Guru Mata Pelajaran. Materi yang sama juga ditemukan dalam buku resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Halaman 170, kata Tempo, memuat kalimat yang identik. Maka pertanyaannya: siapa yang menyunting? Siapa yang menyetujui? Dan mengapa tidak ada sistem yang bisa menyaring sebelum menyebar?

Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan harus menjunjung nilai-nilai agama, moral, dan kebangsaan. Tapi ketika buku pelajaran mengajarkan pembunuhan, maka hukum telah gagal membaca sebelum anak-anak membaca.

Amidhan berkata, “Perang tak bisa diputuskan oleh kelompok.” Tapi buku itu seolah memutuskan sendiri. Ia mengajarkan perang di tengah damai. Ia mengajarkan kebencian di tengah keberagaman. Ia mengajarkan kematian di tengah kehidupan.

Dan negara, yang sibuk menyusun kurikulum, lupa menyusun pertahanan terhadap radikalisme yang menyusup lewat lembar kerja.

Buku pelajaran bukan sekadar alat ajar. Ia adalah alat negara untuk membentuk warga. Maka, setiap kata di dalamnya harus tunduk pada hukum. Harus tunduk pada nilai-nilai konstitusi. Harus tunduk pada akal sehat.

Karena jika tidak, maka kita sedang mencetak generasi yang belajar membunuh sebelum belajar berpikir.

 

Adv. Darius Leka, S.H., M.H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar