Rabu, 03 Mei 2017

“Jangan Membunuh Atas Nama Tuhan; Ketika Agama Menolak Kekerasan”


JANGKARKEADILAN, KAIRO – 
Di tengah gurun retorika yang kerap membakar dunia, Paus Fransiskus berdiri di tanah Mesir dan menyalakan lilin perdamaian. Dalam pidatonya di Universitas Al-Azhar, Jumat 28 April 2017, ia menyampaikan satu kalimat yang mengguncang nurani: “Tidak ada tindak kekerasan yang dapat dilakukan atas nama Tuhan, karena itu akan mencemarkan nama-Nya.”

Kalimat itu bukan sekadar seruan moral. Ia adalah gugatan spiritual terhadap praktik kekerasan yang berlindung di balik jubah agama. Ia adalah deklarasi hukum nurani yang menolak tafsir yang membenarkan darah.

Paus Fransiskus menyebut kekerasan atas nama Tuhan sebagai penistaan terhadap agama. Ia mengajak dunia untuk menyingkap kedok kekerasan yang menyamar sebagai kesucian. “Kita dipanggil untuk mengakhiri kekerasan terhadap hak asasi manusia dan harga diri manusia,” katanya.

Dalam hukum internasional, seruan ini bersambung dengan prinsip non-violence dan perlindungan HAM. Dalam hukum agama, ia bersambung dengan perintah kuno: “Jangan membunuh.” Tapi dalam praktik sosial, keduanya sering dikalahkan oleh fanatisme yang memanipulasi iman.

Pidato Paus Fransiskus disampaikan di hadapan Imam Besar Al-Azhar, Sheikh Ahmed el-Tayyib, tokoh yang dihormati oleh jutaan Muslim Sunni. Pertemuan ini bukan sekadar simbol, tapi langkah konkret menuju rekonsiliasi antaragama. Setelah hubungan Vatikan dan Al-Azhar sempat membeku sejak 2011, kini keduanya kembali duduk bersama, bukan untuk menyamakan keyakinan, tapi untuk menyamakan komitmen: menolak kekerasan.

Di tanah Mesir, tempat Musa menerima 10 Perintah Tuhan, Paus mengingatkan: “Perintah itu ditujukan kepada setiap individu, dan yang paling utama adalah: Jangan membunuh.”

Seruan Paus Fransiskus bukan hanya untuk pemuka agama, tapi juga untuk negara, institusi, dan media. Ia menuntut agar semua pihak memulai proses perdamaian, meletakkan dasar hukum yang kuat antara masyarakat dan negara. Karena hukum yang tidak berpihak pada perdamaian, adalah hukum yang kehilangan jiwa.

Dalam konteks Indonesia, seruan ini relevan. Kita hidup di tengah pluralisme yang rapuh, di mana tafsir agama bisa berubah menjadi alat politik, dan hukum kadang kalah oleh tekanan massa. Maka, pidato ini adalah pengingat: bahwa hukum harus belajar dari iman yang tulus, bukan dari fanatisme yang bising.

Di zaman ketika bom bisa meledak atas nama Tuhan, Paus Fransiskus mengingatkan bahwa Tuhan tidak butuh pembela yang membunuh. Ia butuh pengikut yang mencintai. Karena kekerasan bukan ekspresi iman, tapi ekspresi ego. Dan agama yang membenarkan kekerasan, bukan agama, tapi ideologi yang kehilangan Tuhan.

Paus Fransiskus menutup pidatonya dengan harapan agar Mesir tetap menjadi tanah peradaban dan perjanjian. Tapi harapan itu bukan hanya untuk Mesir. Ia adalah harapan untuk semua bangsa, termasuk Indonesia. Bahwa kita bisa menolak kekerasan, menolak kebencian, dan menolak tafsir yang mencemarkan nama Tuhan.

Karena damai bukan sekadar cita-cita. Ia adalah perintah. Dan perintah itu, dalam hukum Tuhan dan hukum manusia, harus ditaati.

 

Adv. Darius Leka, S.H., M.H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar