Kalimat itu bukan sekadar seruan moral. Ia adalah gugatan
spiritual terhadap praktik kekerasan yang berlindung di balik jubah agama. Ia
adalah deklarasi hukum nurani yang menolak tafsir yang membenarkan darah.
Paus Fransiskus menyebut kekerasan atas nama Tuhan sebagai
penistaan terhadap agama. Ia mengajak dunia untuk menyingkap kedok kekerasan
yang menyamar sebagai kesucian. “Kita dipanggil untuk mengakhiri kekerasan
terhadap hak asasi manusia dan harga diri manusia,” katanya.
Dalam hukum internasional, seruan ini bersambung dengan
prinsip non-violence dan perlindungan HAM. Dalam hukum agama, ia bersambung
dengan perintah kuno: “Jangan membunuh.” Tapi dalam praktik sosial, keduanya
sering dikalahkan oleh fanatisme yang memanipulasi iman.
Pidato Paus Fransiskus disampaikan di hadapan Imam Besar Al-Azhar, Sheikh Ahmed el-Tayyib, tokoh yang dihormati oleh jutaan Muslim Sunni. Pertemuan ini bukan sekadar simbol, tapi langkah konkret menuju rekonsiliasi antaragama. Setelah hubungan Vatikan dan Al-Azhar sempat membeku sejak 2011, kini keduanya kembali duduk bersama, bukan untuk menyamakan keyakinan, tapi untuk menyamakan komitmen: menolak kekerasan.
Di tanah Mesir, tempat Musa menerima 10 Perintah Tuhan, Paus
mengingatkan: “Perintah itu ditujukan kepada setiap individu, dan yang paling
utama adalah: Jangan membunuh.”
Seruan Paus Fransiskus bukan hanya untuk pemuka agama, tapi
juga untuk negara, institusi, dan media. Ia menuntut agar semua pihak memulai
proses perdamaian, meletakkan dasar hukum yang kuat antara masyarakat dan
negara. Karena hukum yang tidak berpihak pada perdamaian, adalah hukum yang
kehilangan jiwa.
Dalam konteks Indonesia, seruan ini relevan. Kita hidup di
tengah pluralisme yang rapuh, di mana tafsir agama bisa berubah menjadi alat
politik, dan hukum kadang kalah oleh tekanan massa. Maka, pidato ini adalah
pengingat: bahwa hukum harus belajar dari iman yang tulus, bukan dari fanatisme
yang bising.
Di zaman ketika bom bisa meledak atas nama Tuhan, Paus
Fransiskus mengingatkan bahwa Tuhan tidak butuh pembela yang membunuh. Ia butuh
pengikut yang mencintai. Karena kekerasan bukan ekspresi iman, tapi ekspresi
ego. Dan agama yang membenarkan kekerasan, bukan agama, tapi ideologi yang
kehilangan Tuhan.
Paus Fransiskus menutup pidatonya dengan harapan agar Mesir
tetap menjadi tanah peradaban dan perjanjian. Tapi harapan itu bukan hanya
untuk Mesir. Ia adalah harapan untuk semua bangsa, termasuk Indonesia. Bahwa
kita bisa menolak kekerasan, menolak kebencian, dan menolak tafsir yang
mencemarkan nama Tuhan.
Karena damai bukan sekadar cita-cita. Ia adalah perintah.
Dan perintah itu, dalam hukum Tuhan dan hukum manusia, harus ditaati.
Adv. Darius Leka, S.H., M.H.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar