JANGKARKEADILAN, JAKARTA – Jakarta, kota yang tak pernah tidur, kini terbangun dengan pemimpin baru. Pilkada DKI 2017 bukan sekadar kontestasi elektoral, tapi panggung besar tempat hukum, agama, politik, dan emosi rakyat bersilangan. Anies Baswedan dan Sandiaga Uno dinyatakan unggul dalam hampir semua hitung cepat. Ahok-Djarot, sang petahana, harus menanggalkan kursi dengan kepala tegak dan senyum yang tak lagi politis, tapi manusiawi.
LSI, SMRC, Polmark—semua sepakat: Anies-Sandi menang telak.
Dengan data masuk nyaris 100%, angka tak bisa dibantah. Tapi hukum tak mengenal
euforia. Ia menunggu hasil resmi dari KPU. Karena dalam demokrasi, kemenangan
bukan soal tepuk tangan, tapi soal prosedur.
Namun, di balik angka, ada narasi. Ada Prabowo Subianto yang
memimpin deklarasi kemenangan di Jalan Kertanegara. Ada banyolan tentang Fadli
Zon sebagai penyair. Ada teriakan “Prabowo Presiden 2019!” yang menggema lebih
nyaring dari suara TPS.
Anies memilih Masjid Istiqlal sebagai tempat sujud syukur.
Disambut Habib Rizieq, Ustad Bachtiar Nasir, dan Prabowo, ia menyampaikan
pidato tentang keadilan dan persatuan. “Persatuan tak bisa tanpa keadilan,” katanya.
Kalimat yang indah, meski tafsirnya bisa beragam.
Di sisi lain, Ahok-Djarot menggelar jumpa pers di Hotel Pullman. Tak ada air mata, hanya senyum dan ucapan selamat. “Jakarta adalah rumah bersama,” kata Ahok. Sebuah kalimat yang terdengar seperti pintu yang ditutup dengan lembut.
Pilkada DKI 2017 adalah pelajaran hukum yang tak tertulis.
Tentang bagaimana tuduhan penistaan agama bisa mengubah peta elektoral. Tentang
bagaimana massa bisa menjadi alat politik. Tentang bagaimana hukum harus tetap
berdiri di tengah badai opini.
Ahok, yang sempat dijerat pasal 156a KUHP, tetap menjalankan
tugas hingga Oktober. Ia mempercepat program sertifikasi tanah, bedah rumah,
dan e-katalog bahan bangunan. Ia tak bicara soal kekalahan, tapi soal
keberlanjutan. Karena hukum bukan soal siapa yang menang, tapi siapa yang tetap
bekerja.
Jakarta memilih, tapi bukan hanya lewat suara. Ia memilih
lewat narasi, lewat simbol, lewat tempat sujud syukur. Di satu sisi, ada masjid
dan doa. Di sisi lain, ada Balai Kota dan program. Di tengahnya, ada rakyat
yang menonton, memilih, dan berharap.
Demokrasi kita bukan hanya soal kotak suara. Ia adalah
panggung besar tempat satire dan keseriusan berdansa. Di mana penyair bisa jadi
politisi, dan politisi bisa jadi penyair.
Jakarta telah memilih. Tapi hukum tetap harus netral. Ia
harus memastikan bahwa transisi berjalan sesuai aturan. Bahwa kemenangan bukan
hanya soal angka, tapi soal amanat. Bahwa kekuasaan bukan soal sujud syukur,
tapi soal kerja nyata.
Karena di Jakarta, setiap pemimpin adalah cermin. Dan rakyat, adalah wajah yang tak pernah bisa dibohongi.(Adv. Darius Leka, S.H., M.H.)
#jakartatelahmemilih #demokrasitanpaeuforia
#rakyattakbisadibohongi #jakartarumahbersama #pilkadaadalahpelajaran #amanatbukaneuforia #jangkarkeadilan #foryou
#fyp #edukasihukum #advokat #shdariusleka #darkalawoffice #jangkauanluas
@semuaorang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar