Jumat, 21 April 2017

“Pasal 7 dan Luka yang Tak Pernah Dewasa”


JANGKARKEADILAN.COM, JAKARTA – Di negeri yang katanya menjunjung tinggi hak anak, tiga perempuan berdiri di depan Mahkamah Konstitusi. Mereka bukan aktivis, bukan akademisi, bukan politisi. Mereka adalah korban. Endang Wasrinah, Maryanti, dan Rasminah—tiga nama yang membawa luka, membawa gugatan, membawa harapan.

Mereka menuntut negara untuk meninjau ulang Pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal yang memperbolehkan anak perempuan menikah di usia 16 tahun. Pasal yang telah mencabut masa kecil mereka, mengganti mainan dengan bayi, mengganti mimpi dengan beban.

Pasal 7 adalah warisan hukum yang tak pernah tumbuh. Ia menetapkan usia minimum perkawinan 16 tahun bagi perempuan, dan membuka celah dispensasi. Di atas kertas, ia tampak sah. Tapi di lapangan, ia adalah pintu masuk kekerasan seksual, kematian maternal, dan putus sekolah.

Mahkamah Konstitusi pernah menyatakan pasal ini tidak bertentangan dengan UUD 1945. Tapi tiga perempuan ini berkata: “Kami adalah bukti bahwa pasal itu bertentangan dengan hidup.”

Menurut BPS (2015), 2,24% anak di pedesaan menikah di usia 10–17 tahun. Dari mereka, 35,83% menikah sebelum usia 15. WHO mencatat, perempuan yang melahirkan di usia 10–14 tahun berisiko lima kali lipat meninggal saat hamil atau bersalin. Kementerian Kesehatan menyebut kehamilan terlalu muda sebagai penyebab utama kematian ibu.

Ini bukan sekadar angka. Ini adalah nyawa. Dan hukum yang membiarkan angka itu tetap tinggi, adalah hukum yang gagal melindungi.

Presiden dan DPR pernah sigap merespons kekerasan seksual. Mereka mengesahkan UU Perlindungan Anak dalam waktu singkat. Tapi dalam kasus perkawinan anak, negara seperti lupa bahwa seksualitas anak juga bisa disakiti lewat pernikahan.

Koalisi 18+ sudah mengajukan Perppu Pencegahan Perkawinan Anak sejak 2016. Sudah berdiskusi dengan Kantor Staf Presiden dan Kementerian Agama. Tapi rancangan itu mangkrak. Seperti janji yang tak pernah ditepati.

Gugatan tiga perempuan ini menggunakan batu uji Pasal 27 ayat (1) UUD 1945: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum.” Tapi dalam praktiknya, anak perempuan yang menikah dini tidak mendapat perlakuan yang sama. Mereka kehilangan pendidikan, kesehatan, dan masa depan.

Koalisi Perempuan Indonesia menyebut usia 16 tahun terlalu muda. Terlalu rentan. Terlalu berisiko. Mereka mengusulkan usia minimum 18 tahun, bahkan 21 tahun seperti di Nusa Tenggara Barat.

Karena anak bukan istri. Dan hukum harus tahu bedanya.

Perkawinan anak bukan tradisi. Ia adalah tragedi. Ia bukan budaya. Ia adalah pelanggaran. Dan negara yang membiarkan anak-anak menikah, adalah negara yang belum dewasa.

Hari ini, tiga perempuan berdiri di depan Mahkamah Konstitusi. Mereka tidak meminta belas kasihan. Mereka meminta keadilan. Karena hukum bukan soal usia, tapi soal keberanian untuk berubah. (Adv. Darius Leka, S.H., M.H.)


#anakbukanistri #stopperkawinananak #beraniubahhukum #tolakpasal7 #hapusdispensasinikah #perempuanbersuara #kamiadalahbukti #tradisibukantragedi #nyawabukanangka #keadilantakkenalusia #jangkarkeadilan #foryou #fyp #edukasihukum #advokat #shdariusleka #darkalawoffice #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar