Rabu, 07 Juni 2017

"Di Balik Seragam; Iman yang Tak Pernah Mundur"


JANGKARKEADILAN.COM, JAKARTA – Di negeri yang gemar menyembunyikan spiritualitas di balik protokol, ada satu lembaga yang diam-diam menyala: Ordinariat Militer Indonesia (OCI). Ia bukan pasukan bersenjata, melainkan pasukan bersabda. Bukan komando yang menggertak, tapi komando yang menggetarkan hati. Di tengah hiruk-pikuk disiplin militer dan birokrasi hukum, OCI hadir sebagai oasis rohani bagi prajurit TNI dan POLRI yang memeluk Katolik.

OCI bukan sekadar komunitas WhatsApp yang membagikan renungan harian. Ia berakar pada Konstitusi Apostolik Spirituali Militum Curae, ditetapkan oleh Paus Yohanes Paulus II pada 21 April 1986. Sebuah dokumen yang menyatakan: prajurit pun punya hak untuk dekat dengan Tuhan. Di Indonesia, hak itu belum sepenuhnya diakui negara. OCI masih berjalan di lorong senyap, tanpa payung hukum yang kokoh. Ironis, bukan? Di negeri yang katanya menjunjung tinggi kebebasan beragama, pengakuan formal terhadap OCI masih menggantung di langit harapan.

Marsekal Pertama TNI Antonius Sri Munada menyebut OCI sebagai ruang silaturahmi iman. Di tengah tugas negara, para prajurit bisa saling menyapa, berbagi renungan, dan mengingatkan satu sama lain untuk tidak tergelincir dalam korupsi atau ketidakadilan. “Kita mesti menjadi garam dan terang,” katanya. Sebuah kalimat yang lebih tajam dari peluru, lebih terang dari sorotan lampu komando.

Mayjen TNI Dominikus Agus Riyanto menyebut OCI sebagai “jawaban atas doa-doa prajurit.” OCI bukan sekadar lembaga, tapi jalan pulang bagi jiwa-jiwa yang lelah berperang di medan tugas dan rindu akan kehangatan Tuhan.

Romo Letkol (Sus) Yoseph Bintoro, imam yang mengajar calon perwira TNI AU, menyebut kehadirannya sebagai “pertanda baik bagi Gereja Katolik.” Ia bukan hanya diterima, tapi dibantu oleh Markas Besar TNI. Di Akademi Angkatan Udara Adisutjipto, ia membentuk karakter unggul yang berwawasan kebhinnekaan. Di tengah barak, sabda Tuhan tak pernah kehilangan gema.

Mayjen TNI Hyeronimus Guru menyoroti pentingnya sapaan rohani di lingkungan TNI-POLRI. Ia menyebut prajurit “haus akan kedekatan sesama umat.” OCI menjawab dahaga itu dengan renungan harian, Misa Jumat Pertama, dan kegiatan keagamaan yang tak lagi sekadar ekumene.

Brigjen Pol Johanes Kwartanto mengakui: “Sebagai Polisi, saya belum bisa memperjuangkan pengakuan resmi OCI.” Ia menyebut jalur politik sebagai satu-satunya jalan. Di sinilah satire hukum mulai terasa: sebuah lembaga yang menyatukan, membimbing, dan membakar semangat prajurit, justru belum diakui oleh negara yang katanya menjunjung pluralisme.

Apakah hukum kita terlalu sibuk mengatur lalu lintas, hingga lupa bahwa lalu lintas jiwa juga butuh rambu-rambu rohani?

Laksamana Pertama TNI Gregorius Agung mengenang Gereja Valentino di Kopassus sebagai gereja masa kecilnya. Kini, lewat OCI dan Romo Roni, ia menyaksikan bagaimana iman bisa menyatukan prajurit lintas matra. “OCI mengenalkan dan merekatkan,” katanya. Bahkan dalam peristiwa duka, OCI hadir memimpin Misa, membawa bara semangat untuk mengabdi dengan iman.

OCI bukan gerakan eksklusif. Ia adalah gerakan inklusif yang ingin menjadikan prajurit Katolik sebagai bagian utuh dari Indonesia. Menjadi 100% Katolik, 100% Indonesia. Sebuah cita-cita yang tak bertentangan, tapi justru saling menguatkan.

Namun, tanpa pengakuan hukum, OCI tetap berjalan di bawah bayang-bayang. Ia seperti lilin yang menyala di lorong gelap birokrasi. Terang, tapi belum diakui. Hangat, tapi belum dilindungi.

Jika hukum adalah cermin keadilan, maka sudah saatnya OCI mendapat pantulan yang layak. Bukan sekadar apresiasi verbal, tapi pengakuan legal. Karena iman bukan ancaman, tapi kekuatan. Dan prajurit yang beriman adalah prajurit yang tak hanya menjaga batas negara, tapi juga batas nurani.

 

Adv. Darius Leka, S.H., M.H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar