OCI bukan sekadar komunitas WhatsApp yang membagikan
renungan harian. Ia berakar pada Konstitusi Apostolik Spirituali Militum
Curae, ditetapkan oleh Paus Yohanes Paulus II pada 21 April 1986. Sebuah
dokumen yang menyatakan: prajurit pun punya hak untuk dekat dengan Tuhan. Di
Indonesia, hak itu belum sepenuhnya diakui negara. OCI masih berjalan di lorong
senyap, tanpa payung hukum yang kokoh. Ironis, bukan? Di negeri yang katanya
menjunjung tinggi kebebasan beragama, pengakuan formal terhadap OCI masih
menggantung di langit harapan.
Marsekal Pertama TNI Antonius Sri Munada menyebut OCI
sebagai ruang silaturahmi iman. Di tengah tugas negara, para prajurit bisa
saling menyapa, berbagi renungan, dan mengingatkan satu sama lain untuk tidak
tergelincir dalam korupsi atau ketidakadilan. “Kita mesti menjadi garam dan
terang,” katanya. Sebuah kalimat yang lebih tajam dari peluru, lebih terang
dari sorotan lampu komando.
Mayjen TNI Dominikus Agus Riyanto menyebut OCI sebagai
“jawaban atas doa-doa prajurit.” OCI bukan sekadar lembaga, tapi jalan pulang
bagi jiwa-jiwa yang lelah berperang di medan tugas dan rindu akan kehangatan
Tuhan.
Romo Letkol (Sus) Yoseph Bintoro, imam yang mengajar calon
perwira TNI AU, menyebut kehadirannya sebagai “pertanda baik bagi Gereja
Katolik.” Ia bukan hanya diterima, tapi dibantu oleh Markas Besar TNI. Di
Akademi Angkatan Udara Adisutjipto, ia membentuk karakter unggul yang
berwawasan kebhinnekaan. Di tengah barak, sabda Tuhan tak pernah kehilangan
gema.
Mayjen TNI Hyeronimus Guru menyoroti pentingnya sapaan rohani di lingkungan TNI-POLRI. Ia menyebut prajurit “haus akan kedekatan sesama umat.” OCI menjawab dahaga itu dengan renungan harian, Misa Jumat Pertama, dan kegiatan keagamaan yang tak lagi sekadar ekumene.
Brigjen Pol Johanes Kwartanto mengakui: “Sebagai Polisi,
saya belum bisa memperjuangkan pengakuan resmi OCI.” Ia menyebut jalur politik
sebagai satu-satunya jalan. Di sinilah satire hukum mulai terasa: sebuah
lembaga yang menyatukan, membimbing, dan membakar semangat prajurit, justru
belum diakui oleh negara yang katanya menjunjung pluralisme.
Apakah hukum kita terlalu sibuk mengatur lalu lintas, hingga
lupa bahwa lalu lintas jiwa juga butuh rambu-rambu rohani?
Laksamana Pertama TNI Gregorius Agung mengenang Gereja
Valentino di Kopassus sebagai gereja masa kecilnya. Kini, lewat OCI dan Romo
Roni, ia menyaksikan bagaimana iman bisa menyatukan prajurit lintas matra. “OCI
mengenalkan dan merekatkan,” katanya. Bahkan dalam peristiwa duka, OCI hadir
memimpin Misa, membawa bara semangat untuk mengabdi dengan iman.
OCI bukan gerakan eksklusif. Ia adalah gerakan inklusif yang
ingin menjadikan prajurit Katolik sebagai bagian utuh dari Indonesia. Menjadi
100% Katolik, 100% Indonesia. Sebuah cita-cita yang tak bertentangan, tapi
justru saling menguatkan.
Namun, tanpa pengakuan hukum, OCI tetap berjalan di bawah
bayang-bayang. Ia seperti lilin yang menyala di lorong gelap birokrasi. Terang,
tapi belum diakui. Hangat, tapi belum dilindungi.
Jika hukum adalah cermin keadilan, maka sudah saatnya OCI
mendapat pantulan yang layak. Bukan sekadar apresiasi verbal, tapi pengakuan
legal. Karena iman bukan ancaman, tapi kekuatan. Dan prajurit yang beriman
adalah prajurit yang tak hanya menjaga batas negara, tapi juga batas nurani.
Adv. Darius Leka, S.H., M.H.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar