Kamis, 11 Juni 2020

Mendidik Anak Secara Katolik

JANGKARKEADILAN.COM, JAKARTA –  Kebanyakan orang katolik percaya bahwa keluarga merupakan tempat pendidikan yang pertama dan utama bagi semua anak, terutama mereka yang mempunyai orang tua sendiri.

Sayang, kepercayaan tersebut sering kali tidak diimbangi dan ditindaklanjuti dengan usaha mereka dalam mendidik anak-anak mereka di rumah. Tidak sedikitlah kiranya orang tua yang hanya mampu memberikan pendidikan jasmani dan intelektual kepada anak-anak. Mereka tidak mampu memberikan pendidikan rohani maupun moral dan sosial kepada anak-anak mereka sendiri.

Salah satu yang barangkali mendorong mereka berbuat demikian ialah terlalu besarnya kepercayaan mereka kepada para guru di sekolah dan kepada para pemimpin Gereja di paroki. Mereka mengira, anak-anak mereka akan menjadi baik asal saja anak-anak itu belajar di sekolah katolik dan cukup aktif di lingkungan katolik, entah di tingkat wilayah, entah di tingkat paroki.

Untuk Membantu kita dalam mendidik Iman anak kita, Kami dari seksi Katekese komunitas Beato Pio Campiddeli menerbitkan artikel ini, yang diambil dari buku tipis, ditulis oleh pasangan suami-istri V.Pudjiono, yang aktif di lingkungan CFC (Couples For Christ atau Pasangan Suami-Istri untuk Kristus), dan bapak M.L.Oetomo, dosen senior di fakultas psikologi Universitas Katolik Soegijapranoto. Pasutri V.Pudjiono menyusun bagian I, sedang bapak M.L.Oetomo menyusun bagian II.

Semoga artikel ini bermanfaat bagi keluarga-keluarga katolik di Keuskupan Pangkal Pinang, khususnya umat di Paroki Maria Bunda Pembantu Abadi yang ada di Batam.

Penerbit



BAGIAN PERTAMA : PENDIDIKAN IMAN BAGI ANAK

A. Keluarga Kristiani
Di mata orang kristen, keluarga mempunyai martabat yang luhur dan peran yang penting, baik dalam Gereja maupun dalam masyarakat.

Menurut Kitab Suci, perkawinan dan keluarga disiapkan dan diberkati oleh Allah sendiri. Melalui perkawinan, seorang pria dan wanita diutus untuk beranak cucu dan bersatu menjadi satu pasangan tak-terpisahkan (Kej 1-2).

Gereja mengajarkan, bahwa Allah menyiapkan dan memberkati perkawinan dan keluarga karena beliau mempunyai rencana dan tujuan tertentu. Tentang keluarga, hal-hal berikut perlu mendapat perhatian kita :
    • Keluarga adalah unit dasar dari masyarakat : menurut rencana Allah, keluarga terdiri dari satu pria, satu wanita, dan anak-anak (Kej 1-2).
    • Keluarga adalah tempat pertama dan utama untuk melatih dan mendidik anak-anak.
    • Keluarga adalah tempat untuk melatih para calon pemimpin.
    • Keluarga kristen merupakan sebuah Gereja kecil.
    Sayang, dewasa ini timbul banyak sekali faktor yang dapat memecah belah keluarga. Komunitas kasih itu tidak selalu utuh, anggotanya mudah tercerai berai, entah karena perceraian secara resmi, entah karena perpisahan yang terjadi begitu saja.
    Berikut adalah hal-hal yang dapat merusak keutuhan keluarga :
    • Rumah tidak lagi menjadi pusat kegiatan keluarga.
    • Kesibukan orang tua di luar rumah terlalu berlebihan.
    • Informasi dari media massa bisa berpengaruh negatif.
    • Tempat-tempat hiburan yang tidak sehat semakin bertambah.
    • Materialisme membuat orang cenderung mencari yang enak.
    • Budaya instant mengalahkan norma agama dan moral.
    • Tawaran akan barang-barang konsumtif semakin gencar.
    Bila hal-hal diatas kurang diwaspadai dan tidak ditangani secara cepat dan tepat, keutuhan keluarga dapat berada dalam bahaya besar. Kondisi dunia dewasa ini dapat membuat setiap anggota keluarga tenggelam dalam kehidupan pribadi masing-masing.

    B. Iman Kristiani
    Sama dengan iman non-kristen, iman kristen terarah kepada Allah. Seperti orang-orang beragama lain, orang-orang beragama kristen percaya penuh kepada Allah. Namun, berbeda dari iman non-kristen, iman kristen terkait sangat erat dengan Yesus Kristus. Berbeda dari orang-orang non-kristen, orang-orang kristen percaya kepada Bapa, dengan kekuatan Roh Kudus, dengan perantaraan Yesus Kristus

    Selanjutnya, tentang iman orang kristen, hal-hal berikut kiranya perlu diperhatikan :
    • Iman merupakan tindakan dan keputusan pribadi, untuk membuka diri demi hidup baru, dalam Yesus Kristus.
    • Beriman berarti percaya penuh kepada Yesus Kristus, percaya akan Injil Kristus sebagai firman Tuhan dan sebagai kabar suka cita, percaya bahwa Injil Kristus adalah kebenaran.
    • Iman tidak terombang-ambing oleh perasaan, karena lebih merupakan suatu ketetapan hati.
    C. Pendidikan Anak Dalam Keluarga
    Jauh sebelum kelahiran bayi mereka, orang tua biasanya telah mempersiapkan berbagai keperluan bayi dengan seksama : nama, pakaian, tempat tidur, ember mandi, handuk, dan sebagainya. Sayang, beberapa orang tua sering kali justru melupakan persiapan rohani, yang sebenarnya jauh lebih penting daripada persiapan jasmani itu.

    Semasa masih berada dalam kandungan, anak sudah dapat dipersiapkan secara rohani. Ibunya, misalnya, sudah bisa mengajak janin di dalam kandungannya untuk berdialog. Kepada janin, misalnya, bisa diberitahukan kegiatan yang sedang dilakukan ibunya, misalnya : memasak, bekerja di kantor, pergi bersama ayahnya, pergi ke gereja, dan sebagainya.

    Beberapa orang tua tidak memberikan pendidikan iman kepada anak-anak mereka sejak awal, bukan karena tidak mau, melainkan karena kurang tahu tentang cara yang tepat untuk mewariskan iman kepada anak-anak. Misalnya, karena ketrampilan dan pengetahuan mereka sendiri tentang iman juga kurang memadai.

    Beberapa orang tua mengira bahwa pendidikan iman bagi anak-anak mereka dapat mereka percayakan sepenuhnya kepada para guru di sekolah katolik atau kepada para pembina sekolah Minggu di paroki. Mereka kurang sadar, bahwa pendidikan di luar rumah hanyalah pelengkap, bukan pengganti dari pendidikan di rumah.

    Dalam Kitab Suci disebutkan bahwa iman itu bisa timbul dari pendengaran, dan pendengaran itu muncul dari pewartaan sabda dan karya Kristus (Rm 10:17). Maka salah satu tugas orang tua adalah : mewartakan Kristus kepada anak-anak mereka, di rumah.

    Berikut adalah hal-hal yang menyebabkan kegagalan pendidikan iman anak-anak dalam keluarga :
    • Orang tua sendiri kurang sungguh beriman.
    • Orang tua terlalu mempercayakan pendidikan iman anak-anak mereka kepada pihak ketiga (sekolah, Gereja, dan sebagainya).
    • Orang tua tidak mendidik anak untuk hidup di jalan Tuhan.
    • Banyak hal di zaman ini menjauhkan anak-anak dari Tuhan.

    D. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Anak

    Pertumbuhan dan perkembangan anak-anak dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang bersifat eksternal maupun yang bersifat internal.

    Yang dimaksud dengan pengaruh eksternal adalah pengaruh-pengaruh yang berasal dari luar rumah, misalnya dari media komunikasi, terutama dari TV.

    Orang tua kristen dewasa ini diharap menyadari derasnya arus dan besarnya pengaruh berbagai informasi, lewat media massa, pada kepribadian anak-anak mereka. Berbagai tayangan tentang perselingkuhan, perceraian, pergaulan bebas, kekerasan, perampokan, pembunuhan dan hal-hal negatif lainnya, pasti punya pengaruh pada kehidupan iman anak.

    Selain itu, pengaruh eksternal juga muncul dari peredaran obat bius (psikotropika) yang semakin marak. Ketagihan narkotika dan zat-zat adiktif yang lain sudah terbukti merusak kehidupan begitu banyak anak. Pengaruh negatif dari zat-zat terlarang tersebut tidak boleh lagi diabaikan oleh orang tua, karena zat-zat itu benar-benar dapat merusak karakter anak-anak dalam seluruh hidup mereka.
    Yang dimaksud dengan pengaruh internal adalah pengaruh-pengaruh yang berasal dari lingkungan keluarga sendiri.

    Pengaruh itu, misalnya, bisa datang dari suasana umum di dalam rumah. Dalam keluarga yang diwarnai hubungan yang tidak harmonis antar para anggotanya, misalnya, tidak bisa diharapkan adanya dukungan bagi pertumbuhan iman anak secara sehat.

    Bagaimana mungkin iman anak dapat bertumbuh di rumah, bila di dalam keluarga tidak pernah diwartakan Kristus? Bagaimana anak-anak dapat menghormati Allah dan mengasihi sesama, bila orang tua mereka tidak pernah menghormati Allah dan mengasihi sesama?

    E. Pendidikan Iman dalam Keluarga
    Dalam memberikan pendidikan iman kepada anak-anak di rumah, orang tua sebaiknya mengusahakan hal-hal berikut :
    1. Berdoa, agar diberi karunia hikmat oleh Tuhan, sehingga mampu memberikan pendidikan iman kepada anak-anak.
    2. Meningkatkan iman sendiri, dengan membaca Kitab Suci, buku-buku rohani, dan buku-buku tentang pendidik anak (seperti : Kiat Sukses Mendidik Anak Dalam Tuhan; Kuasa Ucapan Berkat, dan sebagainya).
    3. Lebih banyak memberikan teladan dan membagikan pengalaman iman yang konkret daripada bersikap menggurui dengan banyak omongan yang tidak efektif.
    4. Berlaku sebagai sahabat, sehingga anak-anak mau dan mampu terbuka kepada orang tua sendiri.
    5. Mendidik anak-anak dengan banyak menyampaikan ajaran dan teladan Tuhan Yesus Kristus (Ef 6:4).
    6. Bersungguh-sungguh dalam mendidik iman anak, tidak setengah-setengah, tidak hanya hanya “kalau ada waktu” saja.Tidak pernah merasa bosan, bersedia mengulang-ulang dalam memberikan nasihat bijaksana (Ul 6:7-8).
    Selain itu, berikut adalah beberapa nasihat praktis, yang juga pantas diperhatikan dalam mendidik anak-anak di bidang iman :
    1. Ajarlah anak-anak mengenai kekudusan Tuhan : “Permulaan hikmat adalah takut akan Tuhan”(Mzm 111:10; Ay 28:28; Ams 1:7; 9:10; 15:33). Takut akan Tuhan tidak berarti gentar, melainkan hormat kepadaNya, tidak mau melawan kekudusanNya, patuh serta hormat pada perintah-perintahNya. “Tuhan sama sekali Kudus, dan oleh sebab itu hukum-Nya menuntut kekudusan sempurna”(Im 11:44-45; Yos 24:19). Kita perlu hidup kudus, sebab Tuhan adalah kudus Tanpa kekudusan, kita tidak bisa melihat Tuhan (1 Ptr 1:16; Ibr 12:14). Karena Tuhan kudus, Tuhan membenci dosa. Maka kalau kita berbuat dosa, Tuhan “murka” dan dapat menjatuhkan hukuman (Kel 20:5). Orang yang berdosa tidak tahan berdiri di hadapan-Nya (Mzm 1:5; 24:3-4).

    2. Tegur dan sadarkan anak-anak, bila mereka berdosa : Lakukan hal itu pada anak-anda sejak mereka masih berusia dini; jelaskan kepada mereka bahwa perilaku yang menyimpang dari ajaran Tuhan bukan hanya mengecewakan orang tua, melainkan juga mengecewakan hati Allah yang kudus. Bantulah anak-anak dalam mengembangkan hati nurani mereka, sehingga mereka akhirnya mampu menilai perilaku mereka sendiri, terutama saat mereka menyimpang dari kehendak Tuhan. Ajarkanlah kepada mereka kebenaran ini dengan kasih dan lemah lembut, bukan dengan gertakan. Menunjukkan kepada anak-anak pada dosa-dosa mereka bukanlah berarti mencari-cari kesalahan mereka, melainkan melatih hati nurani mereka dan menyadarkan mereka bahwa :
    • dosa adalah pelanggaran hukum Allah (1Yoh 3:4; 5:17)
    • dosa membuat orang mustahil memperoleh damai sejahtera yang sejati (Yes 57:20-21)
    • semua orang telah berdosa (Rm 3:23; 3:10-12)
    • dosa membuat orang menerima kematian (Yeh 18:4; Yak 1:15; Rm 6:23)
    • orang berdosa tidak layal sama sekali untuk mendapatkan keselamatan (Yes 64:6)
    • orang berdosa tidak dapat mengubah sifat dosa mereka (Yer 2:22; 13:23; Rm 8:7-8)
    • orang berdosa berada dalam keadaan tidak berdaya (Luk 12:2-3; Rm 2:16; Why 22:8)
    3. Ajarilah anak-anak agar mereka mengenal Kristus dan memahami sabda-sabda serta karya-karyaNya. Dosa bukannya tidak bisa dikalahkan. Tunjukkanlah kepada anak-anak bahwa satu-satunya jalan penebusan bagi dosa adalah Yesus Kristus. Dia adalah pusat dari berita Injil.

    Jadikanlah pengajaran tentang Yesus Kristus sebagai focus yang utama dari semua pelajaran rohani bagi anak-anak. Ajarkanlah kepada mereka bahwa Yesus Kristus adalah :
    • Allah yang kekal (Yoh 1:1-3,14)
    • Tuhan di atas segala tuhan (Why 17:14; Fil 2:9-11; Kis 10:36)
    • Telah menjadi manusia untuk kita (Fil 2:6-7)
    • Suci dan tanpa dosa (Ibrani 4:15; 1 Petrus 2:22-23; 1Yohanes 3:5)
    • Telah rela mencurahkan darah-Nya sendiri sebagai penebusan dosa (Ef 1:7; Why 1:5)
    • Telah wafat di kayu salib untuk menyediakan jalan bagi keselamatan orang berdosa (1 Ptr 2:24; Kol 1:20)
    • Telah bangkit dari kematian dengan kemenangan (Rm 1:4; 4:25; 1 Korintus 15:3-4)
    • Telah menyatukan diriNya dengan mereka yang percaya kepada-Nya (1 Kor 1:30; 2 Kor 5:21; Fil 3:8-9)
    •  Telah membenarkan semua orang yang percaya kepada-Nya (Rm 3:24; 5:1-2.9; Gal 2:16; Yoh 5:25).
    4. Ceritakanlah kepada anak-anak, bahwa Tuhan tidak menuntut apapun dari orang berdosa. Tuhan hanya mengajak orang berdosa untuk bertobat. Pertobatan itu haruslah merupakan suatu keputusan hati untuk bersatu kembali dengan Tuhan, bukan hanya kemauan untuk menutup lembaran lama dan membuka lembaran baru. Bertobat berarti berbalik dari dosa lalu memalingkan wajah kepada Tuhan, dengan meninggalkan sama sekali perbuatan dosa. Dalam Kisah Para Rasul (17:30) tertulis bahwa Tuhan memanggil orang berdosa untuk bertobat. Hanyalah orang yang bertobat dan beriman kepada Yesus akan diselamatkan. Keselamatan semata-mata adalah kasih karunia Tuhan, bukan hasil usaha kita (Ef 2:8-9). Maka kita tidak layak memegahkan diri, seolah-olah keselamatan itu kita peroleh dengan usaha kita sendiri. Untuk menerima keselamatan dari Kristus itu, kita harus:
    • bertobat (Yeh 18:32; Kis 3:19; 17:30; 26:20)
    • memalingkan hati dari semua hal yang tidak menghormati Tuhan (1Tes 1:9; Yeh 14:6; 18:30; Yes 55:7)
    • mengikut Yesus (Luk 9:23; 9:62; Yoh 12:26; 15:14)
    • percaya kepada Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat (Kis 16:31; Rm 10:9)

    BAGIAN II. PENGALAMAN AKAN ALLAH

    A. Kebanggaan Semu
    Bangsa kita sering menyebut diri bangsa yang ber-Tuhan. Bangsa kita bangga karena bisa membangun banyak sekali rumah-rumah ibadat, apalagi bila rumah ibadat itu diakui sebagai rumah ibadat yang paling besar, paling megah, paling lengkap, paling tua dan sebagainya. Bangsa kita juga bangga bila bangsa-bangsa lain tahu bahwa kita beribadat sesuai dengan kewajiban.

    Oleh masyarakat kita, para koruptor pun dipandang sebagai orang-orang saleh asal mereka masih menunaikan kewajiban ibadat, apalagi bila mereka memberi sumbangan uang untuk membangun rumah-rumah ibadat. Orang-orang diterima oleh teman-teman di lingkungan mereka asal mereka masih sering beribadat, meskipun ibadat mereka sama sekali tidak menggambarkan kualitas mereka yang sesungguhnya.

    Memang benar, bila kita cermati, masyarakat kita ini masih penuh dengan maksiat dan pelanggaran moral. Pelanggaran terjadi di rumah, baik oleh anak-anak maupun oleh orang-orang tua. Pelanggaran juga terjadi di sekolah, baik oleh para siswa maupun oleh para guru. Di tengah masyarakat, pelanggaran-pelanggaran itu lebih parah lagi. Pelanggaran lalu lintas tidak hanya dilakukan oleh warga masyarakat, melainkan juga oleh penegak hukum sendiri.

    B. Sikap melempar tanggungjawab
    Masyarakat kita sering membela diri dengan berkata : „Yang melakukan pelanggaran itu kan hanya oknum tertentu!“ Tanggapan kita atas pembelaan itu : „Mengapa bila ada sukses atau keberhasilan, hal itu diakui sebagai hasil bersama, bukan sebagai hasil kerja seorang oknum saja?“

    Marilah sekarang kita belajar untuk tidak menyalahkan oknum tertentudan berani mengakui bahwa yang melakukan adalah kita bersama anak-anak kita. Beranikah kita?

    Kebiasaan menyalahkan oknum itu juga dapat terjadi dalam keluarga kita. Dengan cara itu kita ingin mendapat excuse dari masyarakat. Padahal, kebiasaan itu justru menunjukkan ketidakjujuran kita. Maka, kebiasaan itu harus kita lenyapkan dari rumah tangga kita. Kita usahakan agar seluruh keluarga, anak-anak maupun orang tua, selalu berani bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatannya. Siapa pun berbuat salah haruslah mengakui kesalahannya, tidak malah melemparkan kesalahan kepada anggota keluarga yang lain.

    Kita sebaiknya sadar, di depan sesama kita memang bisa bersembunyi. Tetapi di depan Tuhan, tidak mungkin bisa. Tuhan mengetahui gerak-gerik kita. Kita sajalah yang sering tidak sadar akan keberadaanNya. Bila kita mengakui bahwa bumi seisinya adalah ciptaanNya, mestinya kita tahu, bahwa Allah hadir di mana-mana, pada saat mana pun juga. Segala sesuatu yang telah diciptakanNya selalu menarik per-hati-anNya, terutama manusia, yang telah diciptakanNya sebagai citraNya sendiri.

    C. Kehadiran Allah
    Kehadiran dan sapaan Tuhan terasa kita alami, bila kita merasa diperlakukan olehNya. Perlakuan itu bisa kita rasakan sebagai sesuatu yang menyenangkan, tetapi bisa juga kita rasakan sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan.

    Bila Tuhan berlaku baik pada kita, kita merasa senang dan bahagia. Sayang, pada saat seperti itu kita justru sering lupa bertanya : “Mengapa aku disenangkan?” Sebaliknya, saat kita mengalami kesulitan, terlalu mudahlah kita menuduh Allah dan bertanya : “Mengapa aku diperlakukanNya seperti ini?”

    Kita memang makhluk yang egois! Tidak hanya di hadapan sesama, namun juga di hadapan Allah. Kadang-kadang kita bahkan berani melontarkan protes : “Mengapa Tuhan meninggalkan saya, padahal saya sudah melayani dan berbuat baik kepadaMu?”

    Mengapa sikap seperti itu bisa terjadi? Salah satu penyebabnya : Kita terlalu sering melihat ke “atas”, memperhatikan kehidupan orang yang lebih beruntung, kurang rajin melihat ke “bawah”, kepada mereka yang sedang menderita. Kita terlanjur sudah terhanyut ke dalam arus materialisme, yang menempatkan materi di atas segala-galanya.

    Bila dilihat sepintas saja, hidup bergelimang kekayaan memang terasa menyenangkan. Tetapi bila kenyataan itu diteliti lebih jauh, kenyataan itu tidaklah membawa damai sejahtera yang sejati. Harold S.Kushner menyebut keadaan itu sebagai keadaan yang „berlimpah namun gersang“ , seperti nama yang ia berikan sebagai judul pada salah satu buku yang ditulisnya.

    Akibat lain dari materialisme ialah berkurangnya kemampuan untuk menikmati kasih sayang yang sejati. Itulah situasi hidup yang kita saksikan sekarang ini. Kita memang beragama, tetapi agama kita kurang berfungsi sebagaimana mestinya. Agama kita hanya menjadi sebuah ritus semata-mata.

    Maka, sudahlah saatnya bahwa kita menghindar dari derasnya arus materialisme semacam itu.

    Marilah kita berusaha agar anak-anak kita tidak hanya tahu tentang Tuhan, melainkan mengenal Tuhan secara pribadi. Kita upayakan, agar mereka mengalami Tuhan.

    D. Kemampuan mengalami Allah
    Kemampuan mengalami Allah itu perlu kita pupuk pada anak-anak kita mulai sejak mereka masih kecil dan terus kita kembangkan sampai mereka menjadi dewasa. Hubungan pribadi mereka dengan Allah harus kita pelihara terus-menerus, setiap hari. Pada saat masih kecil, anak-anak itu pada umumnya lebih mampu “menangkap” Tuhan daripada setelah mereka menginjak masa remaja dan dewasa.

    Di belahan bumi lain, di luar Indonesia, cukup banyaklah negeri yang secara material sudah “mapan”. Di sana juga banyak sekali rumah ibadat yang indah dan megah. Tetapi, sayang, pada hari Minggu pun rumah-rumah ibadat itu hampir kosong melompong. Yang tampak di sana hanyalah orang-orang yang sudah tua renta. Jumlah mereka itu pun bisa dihitung dengan jari.

    Syukurlah, perilaku mereka dalam keluarga dan dalam masyarakat masih dapat dibanggakan. Perilaku mereka masih layak dipuji. Dengan tertib mereka antre saat menunggu giliran memasuki bus atau kereta api, meski antrean itu panjang. Hal itu juga terjadi saat mereka berbelanja di mall atau toko-toko swalayan lainnya. Mereka masih memiliki budaya malu apabila melanggar norma.

    Demikian pula perilaku mereka saat mengemudi mobil. Mereka selalu siap menghentikan mobilnya saat orang-orang lain sedang menyeberang jalan (di zebra cross). Bahkan, mereka juga menghentikan kendaraan saat yang menyeberang itu adalah anak-anak angsa atau hanya seekor kijang. Mereka sadar, bebek sekalipun adalah ciptaan Tuhan. Mereka pun boleh menghirup segarnya udara, seperti yang dihirup manusia.

    Perilaku semacam itu mungkin menggantikan kehidupan spiritual mereka. Hidup batin mereka tidak terpuaskan dengan menjalankan ibadat. Mungkin mereka bertanya : “Untuk apa aku mengikuti ibadat, kalau perilakuku tidak membuatku puas dan tidak berkenan dihadapan Tuhan?”

    Mana yang lebih baik? Orang-orang di negeri-negeri lain itu, atau orang-orang di negeri kita? Atas pertanyaan itu, jawaban yang sering diberikan adalah : “Dua-duanya baik!”

    Memang benar. Dua-duanya baik. Tetapi, dua-duanya juga memiliki kekurangan. Ibadat tanpa perbuatan seringkali merupakan kemunafikan. Sebaliknya, perilaku yang baik seringkali menyembunyikan kekafiran.

    Tanpa ibadat, kita adalah orang sombong yang merasa diri mampu melakukan apa saja yang kita mau. Tanpa perilaku, iman kita adalah iman yang mati, ibarat tong kosong yang berbunyi nyaring.

    E. Tersebarnya sabda Allah
    Para rohaniwan Jawa asli sering mengatakan bahwa “Sabdaning Allah kuwi gumelar ana ing sak-lumahing jagad” (Sabda Tuhan itu bertebaran di seluruh jagad raya). Dan, nyatanya memang benar, sabda Tuhan memang sudah ditebar di seluruh jagad raya. Hal itu bisa kita jelaskan lebih rinci sebagai berikut:
    1. Dahulu, sewaktu bunga-bunga yang terbuat dari bahan plastik belum begitu populer di kalangan masyarakat kita, orang kadang berceloteh memberikan komentar : “Bagus ya, seperti bunga sungguhan”. Kini, setelah bunga-bunga plastik dibuat semakin sempurna, celoteh merekapun mulai bergeser. Bila mereka melihat bunga alam, bunga yang asli ciptaan Tuhan, mereka berceloteh : “Bagus ya, persis mirip bunga plastik”. Itulah ungkapan rasa yang melompat dari mulut orang yang tidak sadar bahwa bunga yang alamiah itu merupakan ciptaan / hasil karya tangan Tuhan. Mengapa otak kita menjadi terbalik seperti itu? Jawabnya sangat sederhana : “Mereka tidak lagi mampu mengalami Tuhan”. Biarkanlah bunga-bunga buatan Tuhan, meski sederhana, hadir di tengah-tengah kita. Boleh saja kita juga memiliki bunga-bunga plastik, asal kita tidak mengaguminya lebih dari pada bunga-bunga yang alamiah itu. Dan bila kita merasa sudah makin jauh dari Tuhan, marilah kita memohon pengampunan-Nya.
    2. Suatu ketika, seseorang sedang berada di sebuah pematang sawah. Disana dilihatnya banyak sekali bunga-bunga lembut, berwarna-warni. Ada yang merah, ada yang ungu, ada yang kuning, ada pula yang putih. Dipetiknya bunga-bunga itu, setiap warna satu tangkai. Diperhatikannya satu persatu, dan akhirnya ia pun bergumam : ”Untuk apa Tuhan menciptakan ini semua? Mengapa bunga-bunga ini dibiarkanNya bertebaran di sini, di tempat yang hampir-hampir tak pernah dikunjungi orang?” Apa komentar anda tentang orang ini? Bukankah orang ini sedang berhadapan, bahkan sedang dirangkul Tuhan? Ya, benar. Dan, semoga ia tidak akan dilepaskanNya lagi.
    3. Di tempat lain, seorang pendeta bercerita tentang anak puterinya, Tini, yang baru berusia 5 tahun. Hampir setiap pagi, saat bapak pendeta itu mondar-mandir di halaman sambil membaca Kitab Suci, Tini selalu bermain bola tennis.Dilemparkannya bola ini ke langit, dan ketika bola itu turun kembali, diterimanya bola itu dengan cekatan. Kadang-kadang, tangkapannya pun meleset, dan bola itu pun mendekat pada bapak pendeta. Pada saat seperti itu, bapak pendeta selalu bergumam : “Nakal!”. Ketika kejadian itu terulang beberapa kali, bapak pendeta pun menghardik : “Bapak tidak suka kamu bermain seperti itu. Apakah kamu tidak punya teman? Kamu egois!” Dengan terperangah Tini menjawab : “Mengapa bapak marah? Apakah bapak tidak tahu, kalau aku sedang bermain lempar-lemparan bola dengan Tuhan? Bukankah bapak sendiri pernah bilang, Tuhan berada di atas sana?” (sambil tangannya menuding ke langit). Bapak pendeta tersentak oleh jawaban polos yang keluar dari mulut anak putrinya itu. Ia pun masuk ke dalam kamar, tercenung sebentar, dan akhirnya ingatannya membentur sebuah ayat Kitab Suci, yang menyadarkannya, bahwa Tuhan menyayangi anak-anak kecil.
    4. Selembar mading (majalah dinding), yang bentuk dan lay-out-nya sederhana, terselip di antara lembar-lembar lain, yang warnanya lebih mencolok. Judulnya “Mengapa Engkau selalu menunduk di depan kami?” Penulisnya adalah siswa kelas II sebuah SMP favorit di kota Magelang. Isi lengkapnya adalah sebagai berikut : Dua tahun sudah aku duduk di kelas ini. Setiap pagi kupandangi diriMu yang tergantung di kayu salib di depan kelas. Engkau selalu menunduk padahal Engkau Tuhan. Guruku saja tidak demikian. Ia bahkan sering marah. Potongan kapur bisa beterbangan mengenai kepala teman-teman yang nakal. Mengapa demikian Tuhan? Berilah aku jawabMu, karena aku sudah lama ingin mengetahuinya. Tuhan pun menjawab: “Anakku, Aku bukannya marah, apalagi tidak menyukaimu. Renungkanlah! Bagaimana Aku tidak menunduk? Engkau berpakaian lengkap, sedang Aku hanya memakai selembar kain robek. Teman-temanmu banyak, sedangkan Aku sendirian. Tidak seorang pun dari sahabatku-sahabatKu berada di sini. Mana anak-anak tukang becak? Mana anak-anak orang miskin?. Kepekaan rasa siswa yang menuliskan tulisan ini menunjukkan bahwa ia berada dekat dengan Tuhan. Bila saja kepekaannya itu dipupuk dan ditumbuhkan, ia niscaya akan tumbuh menjadi seorang pribadi yang peka terhadap kehendak Illahi. Kejadian apapun yang ada di alam sekitarnya akan dimaknai sebagai kehadiran Allah Tuhannya, entah kejadian itu menyenangkan, entah tidak. Anak yang punya kepekaan religius seperti itulah anak yang kelak menjadi pribadi yang beriman.
    F. Syukur kepada Allah
    Kalau kita mengutamakan bunyi dari sebuah tong, keluarkanlah semua isinya. Sebaliknya, kalau kita menginginkan isinya, relakanlah saja bunyinya. Karena itulah ada pepatah: “Tong kosong berbunyi nyaring”.

    Pribadi yang beriman adalah pribadi yang memiliki jatidiri yang sesuai dengan kehendak PenciptaNya. Pribadi seperti itu memiliki relasi yang baik dan benar terhadap semua kenyataan. Ia bertindak cermat dalam relasinya dengan alam sekitar (dimensi sekuler). Ia bertindak cermat dalam relasinya dengan sesama (dimensi moral dan sosial). Ia juga bertindak cermat dalam relasinya dengan Allah (dimensi religius/ spiritual).

    Tuhan telah menciptakan segala sesuatu yang baik dan indah untuk kepentingan hidup kita. Ia menyediakan segala sesuatu untuk kita. Maka layaklah kalau kita menerimanya dengan rasa syukur dan terimakasih. Alam ini perlu kita gunakan untuk hidup, dengan memeliharanya, dengan menjaga kelestariannya.

    Seharusnya selalu ada romantisme dalam pergaulan antara manusia dan alam lingkungan yang menghidupinya. Maka, kita boleh bertanya : “Mengapa romantisme kehidupan di awal abad XXI ini sepertinya sirna dari muka bumi tempat kita dilahirkan, hidup dan mati di kemudian hari? Mengapa air saat banjir justru menyulitkan kita? Mengapa banjir itu hadir dengan begitu dahsyat sampai menenggelamkan kita? Mengapa banyak jenis-jenis hewan / satwa yang dulu begitu beraneka ragam itu kini sudah tiada? Mengapa di abad ini anak-anak sudah sangat sulit menemukan / melihat kunang-kunang, yang punya lampu dan bisa menyala saat terbang di waktu malam itu? Ke manakah kunang-kunang itu sekarang? Mengapa anak-anak Jawa bertanya kepada orang tua : Yang namanya buah sawo kecik itu seperti apa to?”

    Para orang tua dan para pendidik dipanggil dan diutus Tuhan untuk mendekatkan anak-anak pada alam, supaya mereka mudah mengalami Tuhan, Allah Pencipta, sehingga mereka bisa beriman kepada Tuhan Yang Mahaesa

    Mudahkah melakukan tugas itu? Tentu saja tidak. Pengalaman demi pengalaman membuktikan bahwa sekarang ini alam sering kali justru menyengsarakan kita. Cobalah tengok tragedi Tanah Rencong yang lumat karena gempa dan Tsunami (gelombang pasang) pada tanggal 26 Desember 2004. Karena peristiwa itu, ratusan ribu penduduk kehilangan hampir segala sesuatu. Setelah peristiwa itu, mereka merasa aneh dan asing saat mendengarkan kumandang azan, baik saat subuh maupun maghrib. Banyak di antara mereka memprotes pada Tuhan, yang mereka yakini telah menyiksa mereka sedemikian rupa sampai lumat.

    Para orang tua dan guru diharap mampu menjelaskan fenomena itu dengan logika, tidak hanya dengan dogma. Anak-anak perlu diberi penjelasan, bahwa gempa dan tsunami itu tidak selalu merupakan akibat perbuatan Tuhan.

    Biarlah anak-anak mengalami Tuhan!

    _________________________________
    Sumber: https://komunitasbeatopiocampidelli.wordpress.com/2011/01/11/mendidik-anak-secara-katolik/ / Foto: Darius Leka SH

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar