Jumat, 07 April 2017

Kesalahan Ketik Putusan Salah Satu Modus Mempermainkan Perkara!

JANGKARKEADILAN.COM, JAKARTA – Komisi Yudisial (KY) menganggap kesalahan ketik dalam putusan Mahkamah Agung (MA) tentang tata tertib ‎(tatib) ‎DPD No 1/2017 tentang masa jabatan pimpinan DPD yang mengubah frasa DPD menjadi DPRD, bukan masalah sepele. Terlebih, selama ini kesalahan ketik merupakan salah satu modus untuk mempermainkan perkara bukan hanya sebatas kesalahan administrasi. "Tentu saja salah ketik di sini adalah bentuk temuan yang tetap menjadi tanggung jawab hakim dan letaknya ada di dalam putusan," kata Juru Bicara KY Farid Wajdi, di Jakarta, Kamis (6/4/2017).‎

‎Farid mengungkapkan, selama 10 tahun KY menangani beragam pelaporan berkaitan dengan pelanggaran kode etik hakim, kesalahan ketik merupakan modus yang dominan terjadi di dunia peradilan Indonesia.

Menurutnya, dalam doktrin hukum acara, kesalahan pengetikan putusan disebut dengan "clerical error" yang memiliki dua klasifikasi yakni, yang tidak berdampak signifikan (terjadi pada kepala putusan) dan berdampak signifikan (kesalahan dalam pertimbangan dan amar putusan).‎

"Yang dominan terjadi pada pertimbangan hakim dan amar putusan. Namun baik yang berdampak signifikan maupun tidak, akan diukur sejauh mana tanggung jawab dan seberapa besar kontribusi kesalahan hakim pada kesalahan dimaksud," ujarnya.

Farid menyebut, kesalahan dalam dua klasifikasi tersebut dapat dijatuhi sanksi baik ringan maupun berat. Karena itu pihaknya berharap kesalahan ketik dalam putusan tidak dijadikan masalah sepele karena berdampak pada para pencari keadilan.‎

Dikatakan, dalam preseden internasional, salah ketik merupakan kesalahan administrasi (administratif failure) yang terbagi dalam dua perlakuan utama yakni, diperbaiki atau dikenakan sanksi. ‎"'Administratif failure' tadi akan lebih punya bobot untuk diberi sanksi apabila menjadi sebuah pola yang terus berulang serta terus terjadi pada pelaku/hakim yang sama," kata Farid.

Inkonsistensi
Direktur Eksekutif Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (Mappi) FH UI, Choky Risda Ramadhan mempertanyakan konsistensi MA dalam menangani polemik DPD. Sebab, MA memberi klarifikasi dengan menyebut kesalahan pengetikan  frasa DPD menjadi DPRD tidak mengubah substansi putusan.

Menurut Choky, apabila MA konsisten dengan substansi, MA tentu tidak mengangkat sumpah Ketua DPD terpilih Oesman Sapta Odang. Apalagi dengan dasar Tatib No 3/2017 yang dikeluarkan untuk mengganti Tatib No 1/2017 yang tujuannya justru melanggar substansi putusan MA yang menolak pimpinan DPD dilakukan dengan mekanisme penggiliran.‎ "‎Sikap ini menunjukkan inkonsistensi MA, di satu sisi dalam putusannya yang menyebutkan 'tidak sepatutnya apabila jabatan pimpinan DPD tersebut dipergilirkan yang dapat menimbukkan kesan berbagi kekuasaan', namun di sisi lain MA, melalui hakim agung Suwardi bersedia untuk menyumpah pimpinan DPD terpilih hasil dari mekanime penggiliran.

Terpisah, Jubir MA, hakim agung Suhadi mengatakan, MA berkewajiban menuntun sumpah sesuai dengan UU MD3. Dia juga menolak jika MA disebut telah melantik apalagi dikatakan pengangkatan sumpah tidak sah lantaran tidak dipimpin Ketua MA Hatta Ali. "Ketua MA sedang berhalangan atau tidak ada di tempat, maka Wakil Ketua MA bisa melanjutkan.

Dan dalam konteks ini, Ketua MA ketika meninggalkan daerah, sudah memberikan penugasan kepada Bapak Suwardi," kata Suhadi.

______________________________
Darius Leka,SH/ Foto: Istimewa/ Sumber: www.beritasatu.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar