Jumat, 31 Maret 2017

Santa Clara dan 64 Tanda Tangan yang Tak Goyah


JANGKARKEADILAN.COM, BEKASI – Di sebuah sudut Bekasi Utara, di antara sawah yang menunggu hujan dan langit yang tak pernah benar-benar biru, berdiri sebuah harapan: Gereja Santa Clara. Bukan sekadar bangunan, tapi simbol dari sesuatu yang lebih besar—kerukunan yang diuji, toleransi yang dipertanyakan, dan hukum yang diuji oleh waktu dan prasangka.

Pada November 2014, panitia pembangunan Gereja Santa Clara mengajukan permohonan izin. Sesuai Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006, syaratnya jelas: dukungan dari 60 warga Muslim dan 90 jemaat gereja. Mereka tak hanya memenuhi, tapi melampaui.

Tim Verifikasi Kelurahan Harapanbaru turun ke lapangan. Mereka mengetuk pintu, menyapa warga, membacakan surat bagi yang tak bisa membaca, memastikan tak ada tanda tangan di kertas kosong. Hasilnya? 64 warga Muslim menyatakan dukungan. Dua tahun berlalu, tak satu pun mencabutnya.

Ironisnya, di negeri yang katanya menjunjung tinggi toleransi, mereka yang menandatangani justru dicap kafir oleh sebagian. Seolah mendukung hak beribadah adalah dosa yang tak terampuni.

Verifikasi dilakukan berlapis: Kelurahan, Kecamatan, FKUB, Kementerian Agama, hingga Kesbangpol. Semua menyatakan: prosedur telah ditempuh sesuai aturan. Bahkan Wali Kota Bekasi mengeluarkan SIPMB pada 8 Juli 2015. Gereja berdiri di atas lahan sah milik Paroki Santa Clara, bukan perorangan. Luasnya 6.500 meter persegi, hanya 1.500 meter yang digunakan untuk bangunan.

Tetapi, seperti biasa, hukum tak selalu cukup. Di negeri ini, kadang suara minoritas harus berteriak lebih keras agar didengar. Dan ketika mereka didengar, mereka dibungkam dengan stigma.

Santa Clara bukan sekadar gereja. Ia adalah cermin. Cermin yang memantulkan wajah kita: apakah kita benar-benar menjunjung hukum, atau hanya memeluknya saat nyaman?

Ketika 64 warga Muslim tetap teguh pada dukungan mereka, meski diterpa tekanan psikologis, kita patut bertanya: siapa sebenarnya yang menjaga kerukunan? Mereka yang menandatangani, atau mereka yang mencaci?

Di negeri yang katanya demokratis, izin rumah ibadah bisa lebih rumit dari izin mendirikan mal. Di negeri yang katanya religius, mendukung hak beribadah bisa dianggap pengkhianatan iman. Dan di negeri yang katanya beradab, hukum bisa kalah oleh bisikan intoleransi.

Santa Clara berdiri bukan karena beton dan semen, tapi karena keberanian 64 warga Muslim yang menolak tunduk pada ketakutan. Mereka adalah penjaga konstitusi yang sesungguhnya. (Adv. Darius Leka, S.H., M.H.)


#santaclarasimboltoleransi #jangantakutberbeda #indonesiatanpaintoleransi #santaclaraujiankonstitusi #janganbungkamminoritas #izingerejabukandosa #bangkitkantoleransi #jangkarkeadilan #foryou #fyp #edukasihukum #advokat #shdariusleka #darkalawoffice #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar