Jumat, 19 Desember 2025

Ketika Hukum Tak Seragam; Mengapa Aceh dan Papua Tak Sepenuhnya Tunduk pada KUHP Baru?

JANGKARKEADILAN, JAKARTA — Aceh dan Papua tidak sepenuhnya tunduk pada KUHP baru 2026 karena keduanya memiliki kekhususan hukum: Aceh dengan hukum syariah berbasis Qanun, dan Papua dengan pengakuan terhadap hukum adat sebagai bagian dari otonomi khusus.

Tanggal 2 Januari 2026 akan menjadi tonggak sejarah hukum pidana Indonesia. Setelah lebih dari satu abad hidup dalam bayang-bayang Wetboek van Strafrecht, bangsa ini akhirnya resmi memberlakukan KUHP Nasional—produk hukum anak kandung republik sendiri. Namun, di tengah gegap gempita reformasi hukum ini, dua wilayah istimewa tampak berjalan di jalur berbeda: Aceh dan Papua.

Mengapa?

Aceh bukan sekadar provinsi. Ia adalah entitas hukum yang berdiri di atas fondasi Qanun, hukum syariah yang diakui secara konstitusional melalui UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dalam wilayah ini, pelanggaran seperti khalwat, maisir (judi), dan khamar (minuman keras) tidak hanya diatur oleh KUHP, tetapi juga oleh Qanun Jinayat.

Dengan diberlakukannya KUHP baru, muncul pertanyaan: apakah Qanun Jinayat akan tersingkir?

Jawabannya: tidak. Pemerintah pusat telah menegaskan bahwa KUHP nasional tidak menghapus kekhususan Aceh. Artinya, pelanggaran yang diatur dalam Qanun tetap berlaku, dan pelaku bisa dikenai sanksi berdasarkan hukum syariah, seperti cambuk atau denda adat, selama tidak bertentangan dengan konstitusi dan HAM.

Papua dan Papua Barat, serta provinsi baru hasil pemekaran, memiliki kekhususan berdasarkan UU Otonomi Khusus Papua (UU Nomor 2 Tahun 2021). Salah satu prinsip utamanya adalah pengakuan terhadap hukum adat dan lembaga adat sebagai bagian dari sistem peradilan.

Dalam praktiknya, penyelesaian perkara pidana ringan seperti pencurian kecil, perkelahian, atau pelanggaran adat lebih sering diselesaikan melalui mekanisme adat: denda babi, perdamaian kampung, atau ritual adat.

Dengan diberlakukannya KUHP baru, muncul kekhawatiran bahwa pendekatan restoratif berbasis adat akan terpinggirkan. Namun, nota kesepahaman antara Kejaksaan Tinggi Papua dan pemerintah daerah menegaskan bahwa KUHP akan diimplementasikan dengan tetap menghormati hukum adat sebagai bagian dari keadilan restoratif.

Sebagai Advokat, saya melihat ini bukan sebagai benturan hukum, tapi sebagai mosaik keadilan. KUHP baru memang berlaku nasional, tapi ia tidak bisa menghapus kekhususan yang dijamin konstitusi. Justru, tantangan kita adalah membangun jembatan antara hukum negara dan hukum lokal, agar keduanya tidak saling menegasikan, tapi saling menguatkan.

Aceh dan Papua adalah cermin bahwa hukum tak bisa dipaksakan seragam di negeri yang majemuk. KUHP baru adalah langkah maju, tapi ia harus berjalan berdampingan dengan kearifan lokal. Karena keadilan bukan hanya soal pasal, tapi juga soal rasa.

 

*) Catatan Hukum oleh Darius Leka, S.H., M.H. (Pengurus & Anggota DPC PERADI Suara Advokat Indonesia Jakarta Barat)

#shdariusleka #jangkarkeadilan #kuhp2026 #darkalawoffice #foryou #fyp #edukasihukum #advokat #peradisai #dpcjakartabarat #hukumadat #qanunaceh #otonomikhusus #jangkauanluas @semuaorang

Ketika Tanahmu Diubah Diam-Diam; Skandal Sunyi di Balik Meja BPN

JANGKARKEADILAN, JAKARTA — Mengubah data tanah tanpa persetujuan pemilik bukan hanya pelanggaran administratif—itu bisa dikategorikan sebagai tindak pidana perusakan data negara, dengan ancaman Pasal 406 KUHP.

Di negeri yang katanya menjunjung tinggi asas legalitas, ada ironi yang menyakitkan: tanah yang kau beli sah, kau rawat, kau bayar pajaknya, tiba-tiba berubah nama di sistem Badan Pertanahan Nasional (BPN)—tanpa sepucuk surat, tanpa sepatah kata. Dan ketika kau bertanya, jawabannya hanya: “Silakan ajukan keberatan.”

Ini bukan fiksi. Ini kenyataan yang dialami banyak warga. Dan pertanyaannya: apakah BPN boleh mengubah data tanah tanpa persetujuan pemilik sah?

Perubahan data tanah bisa terjadi karena:

  • Kesalahan administratif: Salah input nama, NIK, atau luas tanah.
  • Permohonan pihak ketiga: Yang mengklaim sebagai ahli waris, pembeli, atau pemilik baru.
  • Manipulasi internal: Oknum di BPN yang bekerja sama dengan mafia tanah.

Dalam banyak kasus, pemilik sah baru sadar setelah tanahnya hendak dijual orang lain, atau saat mengurus balik nama dan ditolak karena “data sudah berubah”.

Secara hukum, BPN tidak boleh mengubah data tanah tanpa dasar hukum dan tanpa pemberitahuan kepada pemilik sah. Jika dilakukan secara sepihak, tindakan ini bisa dikategorikan sebagai:

  • Perbuatan melawan hukum (PMH) dalam hukum perdata.
  • Tindak pidana perusakan data negara jika dilakukan dengan sengaja dan merugikan pihak lain.

Pasal 406 KUHP: Perusakan Barang

“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membuat sehingga tidak dapat dipakai lagi atau menghilangkan sesuatu barang yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

Dalam konteks digital dan administrasi pertanahan, data elektronik yang diubah tanpa hak dapat dianggap sebagai “barang” yang dirusak, apalagi jika berdampak pada hilangnya hak atas tanah.

Jika terbukti ada unsur kesengajaan dan kerugian, maka:

  • Oknum BPN dapat dijerat Pasal 406 KUHP.
  • Korban dapat menggugat secara perdata untuk pemulihan hak.
  • Laporan pidana ke kepolisian dapat diajukan atas dasar perusakan data dan penyalahgunaan wewenang.

Langkah Hukum untuk Pemilik Tanah

  1. Cek data tanah secara berkala di kantor BPN atau melalui aplikasi Sentuh Tanahku.
  2. Simpan semua dokumen asli: sertifikat, akta jual beli, SPPT PBB.
  3. Jika terjadi perubahan tanpa izin:
  • Ajukan keberatan tertulis ke BPN.
  • Laporkan ke Ombudsman jika ada dugaan maladministrasi.
  • Laporkan ke polisi jika ada indikasi pidana.

Tanah tak pernah pindah. Tapi datanya bisa. Dan ketika data bisa diubah tanpa sepengetahuan pemilik, maka negara harus bertanya: siapa yang sebenarnya berdaulat atas tanah?

Karena jika hukum tak bisa melindungi hak atas tanah, maka kita semua hanya menumpang di negeri sendiri.

 

Adv. Darius Leka, S.H. -  Advokat & Penggagas #JangkarKeadilan

#shdariusleka #jangkarkeadilan #darkalawoffice #foryou #fyp #edukasihukum #bpn #mafiatanah #pasal406KUHP #jangkauanluas @semuaorang

“Klik atau Tersingkir”; Ketika Guru Ditantang oleh Standar Digital

JANGKARKEADILAN, JAKARTA — Pernyataan Menteri Abdul Mu’ti bahwa “guru tanpa penguasaan digital tak layak mengajar” memicu respons beragam dari para pendidik di seluruh Indonesia—antara tuntutan profesionalisme dan realitas ketimpangan akses teknologi.

Di tengah gegap gempita Hari Guru Nasional 2025, sebuah pernyataan dari Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, mengguncang ruang-ruang guru dari Sabang sampai Merauke:

“Guru tanpa penguasaan digital dinilai tak layak mengajar.”

Kalimat itu meluncur seperti peluru: tajam, cepat, dan menghantam langsung ke jantung profesi guru. Di satu sisi, ia adalah seruan untuk kemajuan. Di sisi lain, ia terdengar seperti vonis bagi mereka yang masih gagap teknologi.

Abdul Mu’ti menegaskan bahwa penguasaan teknologi bukan lagi nilai tambah, melainkan syarat mutlak. Guru yang tak mampu mengintegrasikan teknologi dalam pembelajaran dianggap tak relevan dengan kebutuhan zaman.

Namun, apakah semua guru di Indonesia punya akses dan pelatihan yang memadai?

Tanggapan dari Lapangan

  • Guru di kota besar menyambut baik pernyataan ini. Mereka sudah terbiasa dengan platform digital, LMS, dan aplikasi pembelajaran daring. “Kami siap. Tapi jangan lupa, kesiapan kami juga karena ada dukungan infrastruktur,” ujar seorang guru SMA di Jakarta.
  • Guru di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) merasa pernyataan itu seperti tamparan. “Kami bahkan masih rebutan sinyal. Laptop pun beli sendiri. Lalu kami dibilang tak layak?” keluh seorang guru SD di Nusa Tenggara Timur.
  • Guru senior merasa teralienasi. “Kami bukan tak mau belajar, tapi pendekatannya harus manusiawi. Jangan langsung dicap tak layak,” ujar seorang guru pensiunan yang masih aktif mengajar di Jawa Tengah.

Dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Pasal 8 menyebutkan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik. Kompetensi itu meliputi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.

Kini, dengan perkembangan zaman, kompetensi digital mulai dianggap sebagai bagian dari kompetensi profesional. Namun, belum ada regulasi eksplisit yang menyatakan bahwa guru yang tidak menguasai teknologi otomatis kehilangan kelayakan mengajar.

Artinya, pernyataan Abdul Mu’ti lebih bersifat normatif dan politis—sebuah dorongan untuk reformasi, bukan ketetapan hukum.

Bayangkan seorang guru di pelosok, mengajar dengan papan tulis reyot, kapur yang tinggal separuh, dan murid yang datang tanpa sepatu. Lalu datang surat edaran: “Anda harus menguasai AI, coding, dan LMS.” Ia tersenyum pahit. “Sinyal saja kami cari di atas pohon.”

Pernyataan Menteri Abdul Mu’ti adalah cambuk yang perlu. Tapi cambuk tanpa jembatan hanya akan meninggalkan luka. Jika negara ingin guru melek digital, maka negara juga harus menyediakan pelatihan, perangkat, dan infrastruktur.

Karena guru bukan sekadar pengajar. Mereka adalah penjaga masa depan. Dan masa depan tak bisa dibangun hanya dengan tuntutan, tapi juga dengan dukungan.

 

Adv. Darius Leka, S.H. -  Advokat & Penggagas #JangkarKeadilan

#shdariusleka #jangkarkeadilan #darkalawoffice #foryou #fyp #edukasihukum #gurumerdeka #digitalisasi #pendidikanindonesia #guruindonesia #menteripendidikan #jangkauanluas @semuaorang

“Lihat Mulutnya, Lihat Kacamatanya”; Ketika Kebenaran Dihadang oleh Imajinasi

JANGKARKEADILAN, JAKARTA — Pernyataan Rustam Effendi soal “mulut dan kacamata” dalam gelar perkara ijazah Jokowi mencerminkan upaya mempertahankan tuduhan meski bukti fisik telah ditunjukkan. Ini membuka ruang diskusi tentang batas antara kritik, fitnah, dan tanggung jawab hukum dalam demokrasi.

Di ruang sidang gelar perkara khusus Polda Metro Jaya, Senin 15 Desember 2025, udara terasa lebih tebal dari biasanya. Bukan karena pendingin ruangan rusak, tapi karena atmosfer yang sarat ketegangan. Di hadapan penyidik, pengawas eksternal, dan para tersangka, termasuk Roy Suryo dan Rustam Effendi, ijazah asli Presiden Joko Widodo dari Universitas Gadjah Mada diperlihatkan.

Namun, alih-alih mengakhiri polemik, Rustam Effendi justru melontarkan kalimat yang kini viral:
“Ijazah ini palzu, itu bukan foto Pak Jokowi. Lihat saja mulutnya dan kacamatanya.”

Seketika, ruang sidang berubah menjadi panggung drama. Bukan karena kekuatan bukti, tapi karena kekuatan persepsi.

Polda Metro Jaya telah menyatakan secara resmi bahwa ijazah tersebut asli, didukung oleh 709 dokumen pendukung dan kehadiran perwakilan UGM. Namun, Rustam Effendi tetap bersikukuh bahwa foto dalam ijazah tersebut bukan milik Presiden Jokowi. Ia mendasarkan klaimnya pada “perbedaan bentuk mulut dan kacamata”.

Sebagai advokat, saya harus bertanya: apakah bentuk mulut dan kacamata bisa menjadi dasar hukum untuk menyatakan dokumen negara sebagai palsu?

Tentu tidak.

Dalam hukum pidana, tuduhan pemalsuan dokumen harus dibuktikan dengan alat bukti yang sah: dokumen pembanding, saksi ahli, atau uji forensik. Bukan sekadar opini visual yang bersifat subjektif.

Pernyataan seperti yang dilontarkan Rustam Effendi bisa masuk dalam wilayah delik aduan, khususnya Pasal 310 dan 311 KUHP tentang pencemaran nama baik, serta Pasal 27 ayat (3) UU ITE jika disebarkan melalui media elektronik.

Polda Metro Jaya sendiri telah menegaskan bahwa status hukum Roy Suryo Cs sebagai tersangka tetap berlaku, dan penyidikan akan dilanjutkan sesuai fakta hukum.

Kita tentu menjunjung tinggi kebebasan berpendapat. Tapi kebebasan itu bukan tiket untuk menyebar tuduhan tanpa dasar. Demokrasi bukan berarti bebas dari tanggung jawab. Ketika kritik berubah menjadi fitnah, maka hukum harus hadir bukan untuk membungkam, tapi untuk menegakkan batas.

Karena jika tidak, kita akan hidup dalam dunia di mana “bentuk mulut” lebih dipercaya daripada dokumen resmi negara.

Pernyataan seperti “lihat kacamatanya” mungkin terdengar lucu di media sosial. Tapi dalam hukum, itu bukan lelucon. Itu bisa menjadi bukti niat jahat, atau setidaknya, ketidakpahaman akan batas antara opini dan delik.

Dan bagi masyarakat, ini menjadi pelajaran penting: kritiklah dengan data, bukan dengan dugaan. Karena hukum tak mengenal satire sebagai pembelaan.

 

Adv. Darius Leka, S.H. -  Advokat & Pendiri #DarkaLawOffice

#shdariusleka #jangkarkeadilan #reels #foryou #fyp #ijazahjokowi #edukasihukum #fitnahbukanfakta #darkalawoffice #shdariusleka #jangkarkeadilan #foryou #fyp #jangkauanluas @semuaorang