Kamis, 11 Juni 2020

Lunturnya Kesetiaan Cinta!

Pada dasarnya setia berarti melakukan apa yang telah dijanjikan. Artinya, yang sudah kita sepakati dalam sebuah perjanjian harus ditaati oleh kedua pihak yang berjanji.

JANGKARKEADILAN.COM, DEPOK – Jika salah satunya tidak melakukan seperti apa yang tercantum dalam perjanjian itu berarti ia tidak setia.

Mengalami Peralihan Makna
Ketika kita melihat atau mendengarkan berita tentang kasus perceraian yang terjadi  akhir-akhir ini, kita seakan dihadapkan dengan berbagai persoalan yang bermuara kepada “Pudarnya Mutiara Cinta” termasuk didalamnya adalah Perka­winan Katolik. Realita yang ada menunjukkan bahwa Perkawinan Katolik tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang bernilai dan perlu diper­tahankan.

Janji untuk tetap setia dalam Janji Perkawinan me­ngalami peralihan makna menjadi sesuatu yang tidak bernilai serta menyakitkan ketika terjadinya konflik se­hingga orang tidak lagi memperjuangkan untuk mempertahankan keutuhannya. Dalam konteks kristiani, bukan saja kita berjanji menjadi seperti yang diharapkan pasangan namun menjadi seperti yang diharapkan Tuhan. Tantangan terbesar kesetiaan adalah hidup sekehendak kita, bukan sekehendak Tuhan atau pasangan.

Salah satu hal yang terlupakan dalam pernikahan adalah sesungguhnya tatkala kita menikah kita berjanji untuk melakukan apa yang diharapkan pasangan sudah tentu tidak semua yang diharapkan dapat dan wajib dilakukan, namun pada dasarnya itulah jiwa pernikahan. Kesetiaan luntur tatkala kita tidak lagi mengindahkan apa yang dikehendaki Tuhan dan pasangan.

Mengambil Keputusan Sendiri
Tema talkshow yang disiarkan oleh sebuah stasiun TV swasta yang menyajikan berbagai persoalan seputar keluarga. Alasannya macam-macam misalnya: sudah tidak cocok lagi dengan pasangan pilihannya, sering bertengkar, kekerasan dalam rumahtangga, tidak seiman, ingin punya anak, selingkuh, faktor ekonomi, dsb. Apakah kita harus lari dengan kenyataan ini atau tetap setia pada perjanjian sakramental yang telah kita ikrarkan dan hukum Tuhan tentang tak terceraikan (bdk Markus 10:9; Matius 19:4-6; Kitab hukum kanonik 1056). Dari persoalan diatas tidak menutup kemungkinan menimpah keluarga Katolik dan tidak mencari solusi terbaik demi keutuhan keluarga namun mereka diam-diam tetap mengambil keputusan sendiri.

Hanya Syarat Administrasi!
Pentingkah calon pasangan suami istri harus mempersiapkan panggilan hidup berkeluarga dengan mengikuti Kursus Persiapan Perkawinan (KPP)? Ataukah hal itu hanyalah sebuah persyaratan administratif sehingga menjadi hal yang tidak penting? Sehingga ada yang berkomentar: “yang menjalankan roda kehidupan keluargaku adalah saya sendiri bukan Gereja. Apakah itu jawabannya?

Pastikan bahawa kita sepakat, bahwa dalam mempersiapkan diri menuju hidup berkeluarga sangat penting, hal ini bukan hanya karena gereja mewajibkan proses ini harus dilalui oleh para calon pasutri, namun dalam KPP calon pasutri perlu mendapatkan bekal awal melalui pembinaan iman guna memperolah kesiapan baik secara mental dan spiritual dalam kehidupan rumah tangga yang akan dihadapinya nanti. Hal senada diungkapkan Pastor Tauchen Hotlan Girsang, OFM saat memberikan pembinaan kepada calon pasutri di Paroki St. Paulus-Depok, beberapa waktu lalu.

Semua upaya ini dimaksudkan untuk memberikan bekal awal dan mendorong secara moril calon suami istri, agar mampu dan siap melihat dan menghadapi realita yang ada. Banyak calon suami istri tergesa-gesa menikah tanpa mendapat bimbingan atau keputusan yang matang. Untuk itu, calon pasutri perlu menyadari bahwa perka­winan bukan hanya urusan perorangan melainkan urusan keluarga, masyarakat dan Gereja. Untuk itu, marilah kita bergandengan tangan untuk tetap berpegang teguh pada hakikat perkawinan Katolik, sesuai de­ngan kehendak Tuhan dan berpegang teguh akan iman kepada-Nya.

_________________________________________
(Darius Lekalawo,SH. Sumber: Majalah ComuniCare, edisi 1 November 2010, halaman 13)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar