Satu kata sebagai jawabannya adalah: “masih”. Di tengah berbagai ketidakpastian, kesetiaan perkawinan adalah hal yang pasti sangat aktual dan relevan bagi keluarga masa kini. Apa alasannya?
JANGKARKEADILAN.COM, DEPOK – Pertama, kesetiaan perkawinan menandakan adanya kesetaraan martabat pria dan wanita. Di antara keduanya tidak ada yang lebih unggul atau lebih rendah derajatnya. Dua-duanya sama-sama unggul, sama-sama luhur selaras dengan citra Allah sendiri. Dalam kesamaan harkat itu, keduanya bisa saling melengkapi dan menyempurnakan secara total. Jadi, karena kesetiaan perkawinan, martabat seseorang dihargai sama sehingga tidak ada yang merasa lebih istimewa.Hal ini tentu saja sangat kita butuhkan, lebih-lebih di masa kini yang rentan dengan pelecehan martabat kemanusiaan dan hilangnya upaya saling melengkapi dan menyempurnakan.
Kedua, kesamaan martabat yang saling menyempurnakan itu akan nampak jika monogami perkawinan jadi landasan. Kesempurnaan seorang pria sebagai manusia nampak ketika ia bersatu dengan seorang wanita (istrinya) dan kesempurnaan seorang wanita terjadi karena ia bersatu dengan seorang pria (suaminya). Contoh konkretnya, sisi maskulin dan rasional seorang pria akan dipenuhi dengan ciri feminin dan emotif seorang wanita. Ketika keduanya bersatu dan bersatu untuk selamanya, maka kesempurnaan manusia dari seorang pria dan wanita, lestari adanya.
Ketiga, perkawinan itu harus terbuka pada kelahiran dan pendidikan anak-anak. Kesetiaan pasangan suami istri adalah jaminan bagi jati diri dan masa depan anak-anak. Anak-anak akan tumbuh dewasa dan mandiri di kemudian hari jika ada penyertaan dan cinta orang tua. Masa depan masyarakat, bangsa, bahkan dunia di masa kini dan masa datang akan terjamin baik jika anak-anak dapat dilahirkan dalam keluarga-keluarga dan mendapatkan pendidikan yang memadai dari kedua orang tuanya yang saling setia.
Keempat; duka-cita, sakit, dan kelemahan yang dialami ketika harus menjaga dan mempertahankan kesetiaan adalah “obat pahit” yang menyembuhkan. Suami dan istri yang sanggup minum obat pahit itu, mereka akan disembuhkan dari egoisme, kerapuhan pribadi, dan dosa-dosa. Suami istri yang senantiasa saling setia, walaupun sulit, dalam diri mereka akan tumbuh kecintaan yang besar pada pasa-ngan; mereka akan tangguh menghadapi godaan dan tantangan, seta dijauhkan dari kecenderungan salah/dosa. Kesetiaan akan mendatangkan selamat, juga di masa kini.
Kelima, perkawinan adalah peristiwa iman. Maka ketika duka kesetiaan terasa memuncak, tidak haram jika kita melibatkan Tuhan dalam segala perkara kita. Dahulu suami istri telah disatukan oleh Tuhan dalam Sakramen Perkawinan di gereja. Oleh karena itu, janganlah di-ceraikan oleh seseorang atau lembaga tertentu, melainkan mohon pertolongan Tuhan untuk menyelesaikannya. Datanglah pada Pastor (sebagai perpanjangan tangan Tuhan), sharingkan duduk perkara apa adanya, dan mohon petunjuk dari padanya.
Kita percaya melalui para Pastor, Tuhan akan berkarya bagi suami istri yang berniat sungguh untuk setia. Jadi, kesetiaan perkawinan adalah nilai yang harus dijunjung tinggi oleh suami dan istri. Sejak awal hingga hari gini tidak ada cerai. Perkawinan bukan hanya mau menyatukan kelebihan atau kebaikan seseorang dan menolak kelemahan/keburukannya, melainkan menyatukan keseluruhan dari keberadaan seseorang. Oleh karena itu, untung-malang, suka-duka, dan sehat-sakit dari peka-winan harus menjadi bagian yang tak terpisahkan bagi pasangan.
Kesetiaan perkawinan terjadi ketika suami istri mau menerima dan menghayati keduanya (kelebihan dan kekurangan pasangan).
Keempat; duka-cita, sakit, dan kelemahan yang dialami ketika harus menjaga dan mempertahankan kesetiaan adalah “obat pahit” yang menyembuhkan. Suami dan istri yang sanggup minum obat pahit itu, mereka akan disembuhkan dari egoisme, kerapuhan pribadi, dan dosa-dosa. Suami istri yang senantiasa saling setia, walaupun sulit, dalam diri mereka akan tumbuh kecintaan yang besar pada pasa-ngan; mereka akan tangguh menghadapi godaan dan tantangan, seta dijauhkan dari kecenderungan salah/dosa. Kesetiaan akan mendatangkan selamat, juga di masa kini.
Kelima, perkawinan adalah peristiwa iman. Maka ketika duka kesetiaan terasa memuncak, tidak haram jika kita melibatkan Tuhan dalam segala perkara kita. Dahulu suami istri telah disatukan oleh Tuhan dalam Sakramen Perkawinan di gereja. Oleh karena itu, janganlah di-ceraikan oleh seseorang atau lembaga tertentu, melainkan mohon pertolongan Tuhan untuk menyelesaikannya. Datanglah pada Pastor (sebagai perpanjangan tangan Tuhan), sharingkan duduk perkara apa adanya, dan mohon petunjuk dari padanya.
Kita percaya melalui para Pastor, Tuhan akan berkarya bagi suami istri yang berniat sungguh untuk setia. Jadi, kesetiaan perkawinan adalah nilai yang harus dijunjung tinggi oleh suami dan istri. Sejak awal hingga hari gini tidak ada cerai. Perkawinan bukan hanya mau menyatukan kelebihan atau kebaikan seseorang dan menolak kelemahan/keburukannya, melainkan menyatukan keseluruhan dari keberadaan seseorang. Oleh karena itu, untung-malang, suka-duka, dan sehat-sakit dari peka-winan harus menjadi bagian yang tak terpisahkan bagi pasangan.
Kesetiaan perkawinan terjadi ketika suami istri mau menerima dan menghayati keduanya (kelebihan dan kekurangan pasangan).
____________________________________
(Oleh: Rm. Alfonsus Sutarno, Pr. Sumber: Majalah ComuniCare, edisi 1 November 2010, halaman 11. Foto: Darius Leka SH)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar