“Hari gini gak boleh cerai, mana tahan? Dah gak zamannya, kali…!” Demikianlah kira-kira beberapa ungkapan yang bisa muncul dari suami atau istri sehubungan dengan kesetiaan perkawinan.
JANGKARKEADILAN.COM, DEPOK – Ungkapan itu bukan tanpa alasan. Alasannya di antaranya: “Lha… mendingan kalau pasangan hidup kita itu baik, jujur, pengertian, rajin, sayang pada keluarga, tanggung jawab, enak diajak ngobrol…. Lha… kalau ternyata dia itu kasar, galak, malas, suka bohong, tidak bertanggung jawab, susah diajak bicara, sakit-sakitan? Duh… maaf ya! Bukannya saya tidak beriman, tetapi saya masih manusia biasa. Ga tahan….! Terlihat di sini bahwa dalam kenyataannya tidak mudah bagi siapa pun untuk bisa menjaga dan memelihara kesetiaan perka-winan. Kesetiaan perkawinan kerap dinilai sebagai hal ideal yang amat sukar dijangkau di zaman sekarang ini. Terlampau banyak gangguan dan tantangan. Idealisme Gereja lewat kesetiaan perkawinan, barangkali hanya menjadi milik orang-orang zaman dulu alias zadul aja. Orang masa kini merasa teramat berat untuk melakoninya.
Pertanyaannya adalah: hal apakah yang bisa membuat kesetiaan perkawinan tetap relevan di zaman sekarang? Haruskah gangguan dan tantangan kesetiaan perkawinan menjadi alasan bagi pasangan suami istri untuk bercerai? Bagaimanakah langkah pastoral yang antisipatif dan solutif dari Gereja Katolik berhadapan dengan problem perceraian perka-winan? Apakah mereka yang “bercerai” bisa menikah lagi secara Katolik atau dapat menerima Komuni Kudus dalam Ekaristi?
Proprietates Perkawinan Katolik
Berbicara soal kesetiaan perkawinan, kita harus meletakkan hal itu dalam ciri-ciri hakiki (proprietates) perkawinan. Jika kita masuk pada hakikat perkawinan Katolik, maka kita akan memiliki dasar pijak yang kokoh dan jelas. Dengan dasar tadi bisa membuat kita yakin pada apa yang mesti dihayati dalam perkawinan. Kita tidak akan mudah masuk dalam bahaya yang mengancam perkawinan.
Perkawinan Katolik memiliki tiga ciri hakiki, yakni unitas (kesatuan), indissolubilitas (sifat tak dapat diputuskan), dan sakramental (perkawinan kristiani yang dikukuhkan secara khusus atas dasar sakramen). Ketiga sifat utama itu merupakan landasan sekaligus martabat bagi perkawinan Katolik. Penolakan salah satu atau keseluruhan dari ciri-ciri hakiki itu bisa menyebabkan perkawinan kehilangan martabatnya.
Unitas Perkawinan
Sepintas kita bisa menganalogikan unitas dengan kata un/ uno (Italia), yang berarti satu. Namun, “satu” di sini tidak diartikan sebagaimana angka matematis belaka. Pengertian “satu” dalam konteks ini lebih mengarah pada sifat kesatuan atau unitas. Konkretnya, satu pria dan satu wanita menjadi satu (satu daging, satu persona); mereka menjadi garwa (sigaraning nyawa); keduanya menjadi sejiwa-seraga. Dari sinilah nampak ciri monogami perkawinan, kesetaraan martabat pria dan wanita, dan tanda bahwa pria dan wanita itu saling membutuhkan dan menyempurnakan. Berkat unitas perkawinan seseorang benar-benar menjadi manusia utuh.
Jika demikian halnya, maka unitas perkawinan menjadi sah jika dilaksanakan antara seorang pria dan seorang wanita. Unitas perkawinan secara radikal melawan poligami (simultan), entah kategori poligini (satu pria dengan banyak wanita), atau poliandri (satu wanita dengan banyak pria). Poligami jelas-jelas melawan martabat pribadi yang sederajat antara pria dan wanita (bdk. Familiaris Consortio/ FC.19).
Ciri monogam perkawinan akan memancar dari martabat pribadi yang se-derajat antara suami dan istri, martabat yang diakui lewat cinta kasih yang timbal balik dan menyeluruh (bdk. Gaudium et Spes/GES 49).
Menurut Paus Yohanes Paulus II unitas perkawinan itu berakar dalam kodrat saling melengkapi yang ada antara pria dan wanita, mengembangkan dalam keseluruhan proyek hidup mereka, dan membagi segala milik dan keberadaan. Unitas adalah buah dan tanda dari kebutuhan yang sungguh bersifat manusiawi, namun bersama dan dalam Yesus pasangan suami istri didorong untuk makin “kaya” pada semua tingkat, yakni tingkat fisik, watak, hati, cipta dan karsa, serta jiwa (bdk. FC 19).
Berkat janji perkawinan pria dan wanita tidak lagi dua melainkan satu daging (bdk. Mat 19:6; Kej 2:24). Mereka menjadi satu persona, satu jiwa, satu raga; satu sama lain menjadi belahan jiwanya. Sekarang mereka berada dalam satu tempat tidur (prokreasi); satu meja makan, satu urusan ekonomi (kesejahteraan), dan satu tempat tinggal (kebersamaan).
Indissolubilitas Perkawinan
Indissolubilitas mau mengatakan bahwa perka-winan Katolik itu tak terputuskan (terceraikan). Sekali perkawinan Katolik dilangsungkan secara sah mempunyai akibat tetap. Perkawinan terjadi satu kali sampai akhir kehidupan dari salah satu atau kedua-duanya.
Oleh karena itu, kesetiaan suami istri hingga akhir hayat adalah nilai yang harus diperjuangkan. Selain itu, perkawinan pun bersifat eksklusif. Terjadi hanya antara suami dengan istri yang bersangkutan. Perkawinan menjadi tindakan dan kehendak bebas dari pribadi yang bersangkutan, tidak ada intervensi orang lain.
Mengapa demikian? Salah satu jawabannya keluar dari Paus Yohanes Paulus II. Lewat amanat apostolik bagi keluarga kristen dalam dunia modern, ia mengatakan bahwa perkawinan itu berakar dari pemberian diri yang menyeluruh antara suami dan istri (bdk. FC 20). Pria dan wanita saling menyerahkan dirinya secara total (seluruh keberadaan diri), bukan bagian/ sisi tertentu saja (sisi baik, sisi untung, sisi suka). Oleh karena itu, dalam janji pernikahan mereka berjanji setia bukan saja pada saat untung, suka, dan sehatnya saja; melainkan dalam untung-malang, suka-duka, dan sehat-sakit. Tak terputuskannya perkawinan itu dituntut pula demi kesejahteraan anak-anak (bdk. FC 20). Masa depan dan pendidikan anak-anak akan mendapatkan jaminannya jika kedua orang tua mereka dalam keadaan utuh dan saling setia.
Perceraian orang tua akan mengancam masa depan dan pendidikan anak-anak. Paus menambahkan juga bahwa Allah menghendaki dan menyatakan indissolubilitas perkawinan sebagai buah, tanda, dan syarat dari kasih yang mutlak yang dipunyai Allah bagi manusia dan dipunyai Tuhan Yesus bagi Gereja (bdk. FC 20). Allah melalui Yesus Kristus adalah tanda kasih-Nya yang total dan tanpa syarat bagi Gereja-Nya.
Oleh karena itu, pasangan suami istri dipanggil untuk menunjukkan kasihnya satu sama lain tanpa syarat, baik dari sisi waktu, maupun sisi kondisi. Kesetiaan pasutri seumur hidupnya dalam suka-duka hidup rumah tangga mereka adalah buah, tanda, dan syarat bagi kebahagiaan mereka dunia akhirat.
Singkatnya, perkawinan kristiani, yaitu perkawinan ratum (sakramen) et consumatum (disempurnakan dengan hubungan suami istri, bdk. Kanon. 1141) tidak dapat diputuskan oleh alasan atau kuasa manusiawi mana pun, kecuali oleh Tuhan lewat kematian (bdk. Mrk. 10:9). Inilah yang kita kenal dengan indissolubilitas absoluta. Sementara indissolubilitas relativa: tidak terputuskannya perkawinan, kecuali oleh otoritas Gereja dan karena alasan tertentu seperti tercantum dalam Kitab Hukum Kanonik (kanon 1143, 1147, 1148, 1149).
(Sebagai catatan: perkawinan Katolik yang diputus/ diceraikan oleh otoritas sipil atau Kantor Urusan Agama/ KUA tetap dianggap masih ada ikatan oleh Gereja Katolik. Jika mau menikah secara Katolik harus melalui proses “pemutusan”).
Sakramentalitas Perkawinan
Hal yang tidak bisa dikecualikan ketika bicara soal kesetiaan adalah sakramentalitas perkawinan. Perkawinan yang terjadi antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen (bdk. Ef 5:22-32; kanon 1055 § 2; 1101 § 2), artinya tanda dan sarana keselamatan Allah. Dalam perkawinan, Allah Bapa melalui Yesus Kristus yang diimani lewat baptisan, memanggil pria dan wanita untuk bersatu dan saling menyempurnakan sebagaimana Yesus bersatu dengan Gereja-Nya dan menebusnya. Perkawinan bukanlah peristiwa sosial semata, melainkan spiritual di mana manusia bisa mencapai keselamatan.
Unitas Perkawinan
Sepintas kita bisa menganalogikan unitas dengan kata un/ uno (Italia), yang berarti satu. Namun, “satu” di sini tidak diartikan sebagaimana angka matematis belaka. Pengertian “satu” dalam konteks ini lebih mengarah pada sifat kesatuan atau unitas. Konkretnya, satu pria dan satu wanita menjadi satu (satu daging, satu persona); mereka menjadi garwa (sigaraning nyawa); keduanya menjadi sejiwa-seraga. Dari sinilah nampak ciri monogami perkawinan, kesetaraan martabat pria dan wanita, dan tanda bahwa pria dan wanita itu saling membutuhkan dan menyempurnakan. Berkat unitas perkawinan seseorang benar-benar menjadi manusia utuh.
Jika demikian halnya, maka unitas perkawinan menjadi sah jika dilaksanakan antara seorang pria dan seorang wanita. Unitas perkawinan secara radikal melawan poligami (simultan), entah kategori poligini (satu pria dengan banyak wanita), atau poliandri (satu wanita dengan banyak pria). Poligami jelas-jelas melawan martabat pribadi yang sederajat antara pria dan wanita (bdk. Familiaris Consortio/ FC.19).
Ciri monogam perkawinan akan memancar dari martabat pribadi yang se-derajat antara suami dan istri, martabat yang diakui lewat cinta kasih yang timbal balik dan menyeluruh (bdk. Gaudium et Spes/GES 49).
Menurut Paus Yohanes Paulus II unitas perkawinan itu berakar dalam kodrat saling melengkapi yang ada antara pria dan wanita, mengembangkan dalam keseluruhan proyek hidup mereka, dan membagi segala milik dan keberadaan. Unitas adalah buah dan tanda dari kebutuhan yang sungguh bersifat manusiawi, namun bersama dan dalam Yesus pasangan suami istri didorong untuk makin “kaya” pada semua tingkat, yakni tingkat fisik, watak, hati, cipta dan karsa, serta jiwa (bdk. FC 19).
Berkat janji perkawinan pria dan wanita tidak lagi dua melainkan satu daging (bdk. Mat 19:6; Kej 2:24). Mereka menjadi satu persona, satu jiwa, satu raga; satu sama lain menjadi belahan jiwanya. Sekarang mereka berada dalam satu tempat tidur (prokreasi); satu meja makan, satu urusan ekonomi (kesejahteraan), dan satu tempat tinggal (kebersamaan).
Indissolubilitas Perkawinan
Indissolubilitas mau mengatakan bahwa perka-winan Katolik itu tak terputuskan (terceraikan). Sekali perkawinan Katolik dilangsungkan secara sah mempunyai akibat tetap. Perkawinan terjadi satu kali sampai akhir kehidupan dari salah satu atau kedua-duanya.
Oleh karena itu, kesetiaan suami istri hingga akhir hayat adalah nilai yang harus diperjuangkan. Selain itu, perkawinan pun bersifat eksklusif. Terjadi hanya antara suami dengan istri yang bersangkutan. Perkawinan menjadi tindakan dan kehendak bebas dari pribadi yang bersangkutan, tidak ada intervensi orang lain.
Mengapa demikian? Salah satu jawabannya keluar dari Paus Yohanes Paulus II. Lewat amanat apostolik bagi keluarga kristen dalam dunia modern, ia mengatakan bahwa perkawinan itu berakar dari pemberian diri yang menyeluruh antara suami dan istri (bdk. FC 20). Pria dan wanita saling menyerahkan dirinya secara total (seluruh keberadaan diri), bukan bagian/ sisi tertentu saja (sisi baik, sisi untung, sisi suka). Oleh karena itu, dalam janji pernikahan mereka berjanji setia bukan saja pada saat untung, suka, dan sehatnya saja; melainkan dalam untung-malang, suka-duka, dan sehat-sakit. Tak terputuskannya perkawinan itu dituntut pula demi kesejahteraan anak-anak (bdk. FC 20). Masa depan dan pendidikan anak-anak akan mendapatkan jaminannya jika kedua orang tua mereka dalam keadaan utuh dan saling setia.
Perceraian orang tua akan mengancam masa depan dan pendidikan anak-anak. Paus menambahkan juga bahwa Allah menghendaki dan menyatakan indissolubilitas perkawinan sebagai buah, tanda, dan syarat dari kasih yang mutlak yang dipunyai Allah bagi manusia dan dipunyai Tuhan Yesus bagi Gereja (bdk. FC 20). Allah melalui Yesus Kristus adalah tanda kasih-Nya yang total dan tanpa syarat bagi Gereja-Nya.
Oleh karena itu, pasangan suami istri dipanggil untuk menunjukkan kasihnya satu sama lain tanpa syarat, baik dari sisi waktu, maupun sisi kondisi. Kesetiaan pasutri seumur hidupnya dalam suka-duka hidup rumah tangga mereka adalah buah, tanda, dan syarat bagi kebahagiaan mereka dunia akhirat.
Singkatnya, perkawinan kristiani, yaitu perkawinan ratum (sakramen) et consumatum (disempurnakan dengan hubungan suami istri, bdk. Kanon. 1141) tidak dapat diputuskan oleh alasan atau kuasa manusiawi mana pun, kecuali oleh Tuhan lewat kematian (bdk. Mrk. 10:9). Inilah yang kita kenal dengan indissolubilitas absoluta. Sementara indissolubilitas relativa: tidak terputuskannya perkawinan, kecuali oleh otoritas Gereja dan karena alasan tertentu seperti tercantum dalam Kitab Hukum Kanonik (kanon 1143, 1147, 1148, 1149).
(Sebagai catatan: perkawinan Katolik yang diputus/ diceraikan oleh otoritas sipil atau Kantor Urusan Agama/ KUA tetap dianggap masih ada ikatan oleh Gereja Katolik. Jika mau menikah secara Katolik harus melalui proses “pemutusan”).
Sakramentalitas Perkawinan
Hal yang tidak bisa dikecualikan ketika bicara soal kesetiaan adalah sakramentalitas perkawinan. Perkawinan yang terjadi antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen (bdk. Ef 5:22-32; kanon 1055 § 2; 1101 § 2), artinya tanda dan sarana keselamatan Allah. Dalam perkawinan, Allah Bapa melalui Yesus Kristus yang diimani lewat baptisan, memanggil pria dan wanita untuk bersatu dan saling menyempurnakan sebagaimana Yesus bersatu dengan Gereja-Nya dan menebusnya. Perkawinan bukanlah peristiwa sosial semata, melainkan spiritual di mana manusia bisa mencapai keselamatan.
______________________________________
(Oleh: Rm. Alfonsus Sutarno, Pr. Sumber: Majalah ComuniCare, edisi 1 November 2010, halaman 07. Foto ilustrasi: ruangpsikologi.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar