Kamis, 11 Juni 2020

Curhatan Seorang Muslim yang Hidup di Keluarga Katolik

JANGKARKEADILAN.COM, JAKARTA – Tahun ini istimewa sekali. Hari kelahiran Nabi Muhammad SAW dan Yesus Kristus diperingati nyaris bersamaan. Maulid pada 24 Desember, sedangkan Natal 25 Desember. Bahkan Misa Natal mulai dilakukan pada malam hari, tanggal 24 Desember.


Tentunya saya pribadi sangat senang. Bukan, bukan karena libur panjangnya, tapi karena saya bisa ikut merayakan dua hari raya keagamaan tersebut. Indahnya bergandengan, bukan? Sudah pasti lebih indah daripada bergandengan sama gebetan baru saat Hari Valentine.

Nama saya, Isidorus Rio Turangga. Nama boleh Isidorus, tapi saya adalah seorang Muslim yang hidup di tengah-tengah keluarga besar yang 90%-nya adalah Katolik. Bagi kami, ribut-ribut asal nyebut soal topi Santa dan larangan ucapan ‘Selamat Natal’ dari seorang Muslim atau Muslimah ibarat komedi di siang bolong.

Bahkan, saat curhatan ini diketik, saya sedang di sela kegiatan menghias pohon Natal, yang dibeli ibu saya yang notabene adalah seorang Katolik taat. Kami merayakan Natal, Idul Fitri, dan hari-hari besar keagamaan setiap tahunnya betul-betul dengan semangat kebersamaan dan cinta kasih.

Saat puasa di Bulan Ramadan, saya selalu disiapkan hidangan sahur dan buka puasa yang tentu rasanya enak dan yang paling penting, gratis. Belum lagi, ketika Idul Fitri, tak jarang sarung dan baju koko baru selalu dibelikan khusus untuk saya.

Sudahlah, tak perlu ikut-ikutan share meme-memean atau tautan berita yang provokatif. Bagi kami hanya jadi bahan tertawaan. Yang lagi ramai soal pemakaian topi Santa. Begini kata-katanya: “Tolak! Topi Santa untuk kaum Muslimin. Coba mereka disuruh pake jilbab dan kopiah untuk menyambut Idul Fitri, pada mau gak???”

Kata-kata itu menggelitik sekali kayak kuping dikilik-kilik pake bulu ayam bandot. Hesteknya pun bikin ngakak, #AgamaJanganBuatMainMain. Lho, yang buat main-main agama itu siapa?

Ada beberapa hal yang ingin saya tulis lebih lanjut di Voxpop ini. Saya tahu, penulis-penulis di Voxpop terkadang suka satir nyinyir begitu, tapi saya paham betul situs ini lebih menghargai perbedaan dan keberagaman.

Saya pun tidak akan berteori atau bermain data-data. Apalagi pakai dalil-dalil agama. Anggap saja ini setengah curhatan dan setengahnya lagi saya harapkan bisa jadi saran buat mas-mas, mbak-mbak, kakak-kakak, dan abang-abang yang budiman.

Syukur-syukur kita bisa memahami apa itu toleransi secara sederhana. Jangan jualan toleransi, kalau untuk memahami tata krama sosial saja belum sanggup.

Topi Santa
Menolak topi Santa untuk kaum Muslim dan dibandingkan dengan kerelaan umat Kristiani menggunakan jilbab atau kopiah saat Idul Fitri, itu tentu banal sekali alias tidak elok.

Saya sepakat dengan mas Akhmad Sahal tentang budaya Natal dan topi Santa. Memakai topi Santa atau bahkan mengucapkan ‘Selamat Natal’ sama sekali tidak haram. Yang haram adalah mengharamkan apa yang sebenarnya boleh. Kalau anda seorang Muslim dan dikasih topi Santa, lalu berminat memakainya tanpa tendensi apapun, salahnya dimana?

Analogi tentang pemaknaan budaya Kristen yang asyik betul, salah satunya adalah perayaan libur hari Minggu. Kalau memakai topi Santa dianggap merayakan budaya Kristen, anda tentunya paham bahwa bagi umat Kristiani menjadikan hari Minggu sebagai perayaan Hari Kelahiran Yesus.

Minggu juga dimaknai sebagai Hari Tuhan. Itulah kenapa para umat Kristiani berduyun-duyun ke gereja pada hari Minggu. Kalau sudah begitu, apa sudi para pegawai negeri yang Muslim itu mau jatah liburnya hari Minggu dihapuskan, karena dianggap merayakan budaya umat Kristen? Padahal, kita merayakan hari Minggu lebih kepada motif untuk berlibur, bukan?

Bahkan untuk lebih ekstrimnya lagi, jangankan hari Minggu, perayaan libur hari Sabtu pun sebenarnya juga rentan perdebatan. Yahudi, yang konon katanya adalah musuh besar kaum Muslim menurut Jonru dan kroni-kroninya, merayakan Sabtu sebagai hari Sabat.

Nah kalau sudah begitu, memangnya mau kaum Muslim dipotong libur Sabtu-Minggunya, karena dianggap merayakan budaya Kristen dan Yahudi?

Sekali lagi, ini semua tentang motif kita dalam melakukan sesuatu. Toh, saat berlibur Sabtu-Minggu, kita para Muslim tentunya memang berniat libur kan, bukan untuk ke gereja atau merayakan hari Sabat. Tentu saja bagimu agamamu dan bagiku agamaku.

Sama tentang cerita topi Santa itu tadi. Kalau untuk dipakai secara sukarela dan sekadar ikut menghargai, lalu buat apa dilarang bahkan diharamkan?

Jangan salah, para suster-suster di gereja dan biara pun juga memakai kerudung kepala menyerupai jilbab. Jadi sekali lagi, biasa sajalah. Sewajarnya saja dan tak perlu mengharamkan ini-itu. Toleransi tak se-bercanda itu.

Selamat Natal
Ini yang setiap tahun nggak ada habisnya. Tentang ucapan ‘Selamat Natal’ dari umat Islam untuk saudara kita yang beragama Kristen. Logikanya, ucapan ‘Selamat Natal’ diwajarkan hanya sebagai tata krama sosial antar umat beragama.

Mengucapkan untuk menghargai perayaan hari besar agama lain, bukan untuk mengimani kepercayaan Kristiani tentang kelahiran Yesus. Terlebih mempercayai Yesus sebagai Tuhan Allah atau Juru Selamat.

Karena sekali lagi, Natal dirayakan bukan sebagai ajang saling mengharamkan ini-itu, bukan? Tiap hari-hari besar agama pun memiliki makna mereka masing-masing. Layaknya Hindu merayakan Nyepi, Buddha merayakan Waisak, hingga kita kaum Muslim merayakan Idul Fitri.

Tidak perlu dicampuradukan dengan mengharamkan pengucapan selamat, atau apapun itu, karena sekali lagi toleransi tidak se-bercanda itu.

Setelah tahun ini ada yang mengharamkan topi Santa, jangan-jangan tahun depan ada haram-haraman soal menghias pohon Natal. Ya terserah saya dong, pohon Natal ibu saya yang beli. Ya sudah kalau begitu, saya mau lanjut lagi menghias pohon Natal.

Selamat merayakan Maulid 1437 H dan Natal 2015…

 _____________________
 Isidorus Rio Turangga/ Sumber: voxpop.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar