JANGKARKEADILAN.COM, JAKARTA – Saya ingin memberikan tanggapan terkait pernyataan Presiden pada saat
meresmikan Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara di Tapanuli Tengah,
Sumatera Utara (24/3/2017). Pada kesempatan itu, Presiden Joko Widodo
menegaskan bahwa agama mesti dipisahkan dari politik. Pernyataan itu
100% benar karena mencampuradukkan urusan agama dan politik berpotensi
membidani tumbukan sosial dan pertikaian mendatar alias konflik
horizontal.
Kalua kita mau jujur, keindonesiaan kita saat ini justru sedang
bergerak ke arah titik nol kalau kelompok politik berjubah agama terus
dibiarkan melakukan provokasi politik dengan memakai bahasa dan simbol
agama. Pernyataan Presiden adalah peringatan yang bena tentang imaginasi
keindonesiaan kita yang belum utuh. Boleh jadi, Max Lane (2008) benar,
bahwa kita belum selesai sebagai bangsa (the unfinished nation). Evolusi
keindonesiaan belum tuntas dari semangat antikolonial menuju semangat
nation building yang semestinya ditandai adanya tansformasi sosial dan
politik dalam mewujudkan cita-cita teleologis berbangsa dan bernegara.
Keindonesiaan adalah identitas kebangsaan yang tunggal yang dibangun
secara sadar dari kebhinekaan suku, agama, ras, dan antargolongan
(SARA). Kesadaran inilah yang menyebabkan Piagam Jakarta yang dirumuskan
Tim Sembilan pada 22 Juni 1945 dulu dikoreksi oleh Muhamad Hatta,
setelah bersepakat dengan Teuku Muhammad Hassan, Kasman Singodimedjo,
dan Ki Bagus Hadikusumo. Saat ini kita melihat adanya bahaya yang
serius karena ada kelompok yang berteriak menghidupkan lagi Jakarta
Charter. Rizieq Shihab dan kelompoknya belakangan ramai berteriak untuk
menghidupkan lagi Piagam Jakarta. Kita bisa pastikan bahwa target mereka
adalah mengubah Pancasila dengan sesuatu yang lain.
Para Pendiri merancang Republik ini dalam bingkai demokrasi. Hal itu
tak berintensi meminggirkan peran agama dalam politik. Sekularisasi di
Eropa yang memperoleh bentuk kuat pada abad ke-19, setelah bermunculan
kritik keras dari para filsuf terhadap agama sejak abad ke-17, tidak
serta-merta menegasi eksistensi agama dalam kehidupan bernegara. Prinsip
sekularisasi hanya menertibkan otonomi agama dalam ruang privat karena
ruang publik adalah murni politik (baca: urusan Negara).
Hari ini pun,
masih banyak partai memakai nama agama di Eropa yang sekuler seperti
Partai Kristen (CDU) atau Partai Katolik (CSU) di Jerman. Namun,
partai-partai berjubah agama itu tidak menjual kitab suci dan simbol
liturgis dalam ruang publik.
Logika ini yang hendak diperkuat oleh Presiden dalam pernyataan
Beliau tadi. Bahwa Indonesia adalah milik semua, tidak bisa dan tidak
boleh diklaim oleh satu kelompok, entah minoritas ataupun mayoritas.
Sebagai kekayaan dan identitas bangsa, agama dalam tradisi Indonesia
adalah sumur nilai, tempat dimana kita menimba kebijaksanaan untuk
membangun habitus keindonesiaan yang berdasarkan Pancasila. Apalagi,
Islam sejak awal adalah unsur penting yang turut membentuk hakikat
nasionalisme keindonesiaan sebagaimana ditegaskan Michael Francis Laffan
(2003) dalam Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The umma below
the winds—buku yang dianggap para kritikus telah melampaui Imagined
Communities-nya Benedit Anderson (1983)!
Berkaca pada Laffan, ekumenisme agama adalah keistimewaan dalam
demokrasi kita. Namun, perjuangan politik agama merujuk pada upaya
menciptakan kemaslahatan umum, bukan membangun arogansi kelompok yang
mengancam kebhinekaan. Memisahkan agama dan politik yang dimaksud
Presiden Jokowi tentu tak berpretensi menolak peran agama dalam politik,
tetapi menolak segala bentuk provokasi dan politisasi agama sebagai
taktik untuk berkuasa. Prinsip demokrasi mengatur bahwa agama secara
prosedural harus ada di ruang privat. Namun, secara substansial agama
mesti mengejawantahkan diri dalam ruang publik melalui perjuangan
kebaikan dan kebajikan yang universal. Dengan jalan demikian, agama bisa
menyelamatkan Indonesia di masa depan agar tidak mundur ke titik nol.
Seruan Presiden adalah ajakan untuk seluruh elemen bangsa agar lebih
peduli dengan ancaman bagi masa depan Demokrasi Pancasila.
Kalibata, 313-2017.
_________________
Sumber: www.matakatolik.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar