Jumat, 31 Maret 2017

Aturan Baru Transportasi Online Belum Sentuh Ojek


JANGKARKEADILAN.COM, JAKARTA – Pengemudi ojek berbasis aplikasi mengeluhkan nasibnya yang masih belum terakomodir dalam aturan revisi Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 32 tahun 2016. Pengojek online meminta agar posisinya sebagai moda transportasi juga dapat diakomodir dalam revisi Permenhub sesuai rencana akan diberlakukan per 1 April 2017.

Hal itu disampaikan Badai Asmara yang merupakan salah satu pengemudi ojek berbasis online yang bermitra dengan aplikator Go-Jek. Badai berharap agar pemerintah juga memikirkan nasib pengemudi ojek online roda dua yang belum diakomodir baik dalam undang-undang maupun Permenhub yang akan diberlakukan tersebut. "Kita berharap ada payung hukum yang menaungi ojek online. Selama ini kan orang tahunya ojek online itu perusahaan transportasi padahal itu kan jasa aplikasi. Makanya kita minta legalitas kita diakui," kata Badai Asmara, di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (27/3).

Dalam Permenhub Nomor 32/2016, yang direvisi memang belum mengakomodir pengojek berbasis roda dua ke dalam undang-undang. Meskipun telah melakukan revisi sebanyak sebelas poin, Permenhub tersebut belum memuatkan roda dua sebagai transportasi publik.

Hal lain yang diungkap Badai juga soal kuota ojek online yang menurutnya perlu diatur dengan ketat. Pasalnya, ojek online yang masih terus berpolemik dengan masalah legalitasnya yang belum diakui sesuai aturan hukum tapi pihak aplikator malah membuka rekretmen baru.

Kebijakan itu dinilainya akan membuat masalah baru. Karena itu, dia meminta pihak pemerintah dan pihak pengusaha aplikasi untuk menuntaskam persoalan internalnya dengan membuat payung hukum legalitasnya terlebih dahulu. "Transportasi online yang sudah banyak masa tidak bisa dibuat undang-undang baru," keluhnya.

Menanggapi keluhan pengemudi itu, politisi Partai PPP Reni Marlinawati juga menyayangkan lambannya pemerintah merespons fenomena ojek online yang telah menjamur diperkotaan. Padahal jumlah pengemudi ojek online sudah kentara dan juga memberi kemudahan bagi masyarakat.

Oleh karena itu, Reni menilai harus ada payung hukumnya yang memperjelas posisi pengemudi ojek online terutama posisinya sebagai mitra dari penyedia aplikasi. "Posisi mereka dengan apikator juga diperjelas legalitasnya. Selama ini mereka selalu menjadi pihak yang dirugikan," kata Reni kepada wartawan di Komplek Parlemen.

Lebih jauh Reni juga memandang perlu aturan yang lebih rinci soal kesamaan tarif antar penyedia aplikasi. Selama ini, soal kesamaan tarif sama sekali belum tersentuh sehingga, antar penyedia aplikasi tidak terjadi persaingan tarif yang akan merugikan sesema penyedia aplikasi. "Jadi pemerintah penting untuk mengatur dan meregulasi keberadaan mereka. Saya nanti akan sampaikan dikomisi agar Permen 32 direvisi kembali dan ditambah klausul yang mengatur khusus terkait kendaraan roda dua," ungkap ketua Fraksi PPP tersebut.

Pemerintah harus adil
Sementara itu, Wakil Ketua DPR Agus Hermanto meminta agar pemerintah mengeluarkan kebijakan yang tepat untuk mengatasi polemik antara transportasi online dan konvensional. Pemerintah diminta tidak berpihak ke salah satu saja. "Pemerintah harus mengeluarkan kebijakan yang tepat. Apa yang diinginkan online dan konvensional seperti apa. Tidak boleh berpihak kepada siapapun, tentunya (berpihak) kepada semua pihak," ujar Wakil Ketua DPR Agus Hermanto di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (27/3).

Menurut Agus, permasalahan angkutan ini telah menjadi perhatian masyarakat dalam skala nasional. Permasalahan ini menurutnya hanya soal berebut mencari rezeki. Oleh karenanya DPR, kata Agus, akan terus mendorong pemerintah untuk membuat peraturan dengan sebijak-bijaknya sehingga dua kubu, yakni angkutan online dan tradisional sama-sama untung. Agus menyebut salah satu cara yang dapat diambil pemerintah untuk memecahkan permasalahan ini adalah dengan melakukan sosialisasi dan pertemuan-pertemuan dengan diikuti masing pihak yang berseteru.

"Pemerintah harus mengatur kebijakan dengan bijaksana sehingga baik online dan tradisional tidak dirugikan. Ini harus diadakan titik temu, diadakan suatu sosialisasi, diadakan pertemuan, barangkali mengeluarkan kebijakannya tidak secepat apa yang harus diinginkan namun banyak menerima masukan-masukan," paparnya. "Hati kita teriris melihat saudara kita berebut masalah rezeki. Kebijakan yang sekarang tidak berpihak pada siapapun," tutup politikus Demokrat itu.

Menanggapi permintaah DPR ini, Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kementerian Perhubungan, J.A. Barata juga menyampaikan, pemerintah telah merespons keluhan soal gejolak transportasi yang terjadi belakangan ini dengan merevisi Permen tersebut. Namun revisi tersebut belum sempat mengakomodir kendaraan roda dua seperti Gojek, Uber maupun grab. "Makanya ketika dilakukan revisi-revisi itu untuk menampung keinginan-keinginan berbagai pihak," kata J.A. Barata saat menjadi pembicara dalam diskusi polemik Sindotrijaya, di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (25/3).

Pemerintah sendiri mengakui, belum memiliki data yang komprehensif soal transportasi online terutama soal jumlah armada yang digunakan. Padahal pemerintah telah meminta kepada pihak penyedia aplikasi untuk melaporkan jumlah armada yang terintegrasi dengan aplikasinya. "Sampai saat ini belum dilakukan," pungkas Barata.

DKI siap
Terkait revisi Permenhub Nomor 32/2016 tentang aturan taksi online, Plt Gubernur DKI Jakarta Sumarsono (Soni) mengatakan Pemprov DKI saat ini sudah melakukan berbagai persiapan. Menurut Soni, ada beberapa poin revisi Permenhub yang masih dalam pembahasan, diantaranya regulasi tarif atas-bawah. Soni mengatakan saat ini pembahasan sedang dilakukan oleh Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ). "Untuk Jabodetabek saya kira Ibu Elly (Elly Adriani Sinaga, Kepala BPTJ) dan sekarang sedang dalam proses koordinasi dan perhitungan," kata Soni di Balai Kota, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Senin (27/3).

"Tapi penerapannya saya kira sebelum 1 April Insya Allah DKI sudah menerapkan itu," lanjutnya.
Terkait stiker, Soni mengatakan itu adalah kewajiban untuk dilakukan. Dia menyebut bahwa aturan itu diterapkan atas azas kesetaraan antara transportasi online dan transportasi konvensional. "Stiker mau tidak mau harus dipasanglah. saya kira itu intinya untuk memberikan kesetaraan, keseimbangan dan perlakukan yang adil bagi kendaraan yang online maupun konvensional. itu prinsip perlindungan bagi semua pihak yang diberikan oleh negara," tutur Soni.

Dirjen Otonomi Daerah (Otda) Kemendagri itu mengakui adanya beberapa penolakan yang dilakukan oknum dari transportasi online. Namun, dia menegaskan bahwa pemasangan stiker sebenarnya dilakukan untuk memudahkan proses pengawasan. "Mula-mula stiker besar sekali, tapi mereka keberatan. bolehlah, yang kecil tidak apa-apa. Tapi stiker itu mesti di tempel. supaya mudah Dishub melakukan tindakan," tutupnya

_________________________

Darius Leka,SH/Sumber: www.gresnews.com/ Foto ilustrasi: istimewa
Pengemudi ojek berbasis aplikasi mengeluhkan nasibnya yang masih belum terakomodir dalam aturan revisi Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 32 tahun 2016. Pengojek online meminta agar posisinya sebagai moda transportasi juga dapat diakomodir dalam revisi Permenhub sesuai rencana akan diberlakukan per 1 April 2017.
Hal itu disampaikan Badai Asmara yang merupakan salah satu pengemudi ojek berbasis online yang bermitra dengan aplikator Go-Jek. Badai berharap agar pemerintah juga memikirkan nasib pengemudi ojek online roda dua yang belum diakomodir baik dalam undang-undang maupun Permenhub yang akan diberlakukan tersebut.
"Kita berharap ada payung hukum yang menaungi ojek online. Selama ini kan orang tahunya ojek online itu perusahaan transportasi padahal itu kan jasa aplikasi. Makanya kita minta legalitas kita diakui," kata Badai Asmara, di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (27/3).
Dalam Permenhub Nomor 32/2016, yang direvisi memang belum mengakomodir pengojek berbasis roda dua ke dalam undang-undang. Meskipun telah melakukan revisi sebanyak sebelas poin, Permenhub tersebut belum memuatkan roda dua sebagai transportasi publik.
Hal lain yang diungkap Badai juga soal kuota ojek online yang menurutnya perlu diatur dengan ketat. Pasalnya, ojek online yang masih terus berpolemik dengan masalah legalitasnya yang belum diakui sesuai aturan hukum tapi pihak aplikator malah membuka rekretmen baru.
Kebijakan itu dinilainya akan membuat masalah baru. Karena itu, dia meminta pihak pemerintah dan pihak pengusaha aplikasi untuk menuntaskam persoalan internalnya dengan membuat payung hukum legalitasnya terlebih dahulu. "Transportasi online yang sudah banyak masa tidak bisa dibuat undang-undang baru," keluhnya.
Menanggapi keluhan pengemudi itu, politisi Partai PPP Reni Marlinawati juga menyayangkan lambannya pemerintah merespons fenomena ojek online yang telah menjamur diperkotaan. Padahal jumlah pengemudi ojek online sudah kentara dan juga memberi kemudahan bagi masyarakat.
Oleh karena itu, Reni menilai harus ada payung hukumnya yang memperjelas posisi pengemudi ojek online terutama posisinya sebagai mitra dari penyedia aplikasi. "Posisi mereka dengan apikator juga diperjelas legalitasnya. Selama ini mereka selalu menjadi pihak yang dirugikan," kata Reni kepada wartawan di Komplek Parlemen.
Lebih jauh Reni juga memandang perlu aturan yang lebih rinci soal kesamaan tarif antar penyedia aplikasi. Selama ini, soal kesamaan tarif sama sekali belum tersentuh sehingga, antar penyedia aplikasi tidak terjadi persaingan tarif yang akan merugikan sesema penyedia aplikasi.
"Jadi pemerintah penting untuk mengatur dan meregulasi keberadaan mereka. Saya nanti akan sampaikan dikomisi agar Permen 32 direvisi kembali dan ditambah klausul yang mengatur khusus terkait kendaraan roda dua," ungkap ketua Fraksi PPP tersebut.
- See more at: http://www.gresnews.com/berita/hukum/90283-aturan-baru-transportasi-online-belum-sentuh-ojek/#sthash.SfQnhy6p.dpuf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar