Senin, 27 Februari 2017

Dukung Pemerintah, Peradi Teliti Kelemahan Hukum Freeport

JANGKARKEADILAN.COM, JAKARTA – Ketua Dewan Pembina Perhimpunan Advokasi Indonesia (Peradi) Otto Hasibuan mengatakan, pihaknya mendukung pemerintah dalam menghadapi PT Freeport Indonesia yang akan membawa perselisihan terkait kontrak kerja ke Lembaga Arbitrase Internasional.

Menurut Otto, dalam perjanjian kontrak antara pihak Freeport dengan Indonesia terkait Izin usaha pertambangan di Indonesia, telah disebutkan bahwa Freeport harus mengikuti peraturan pemerintah Indonesia dari waktu ke waktu.

“Jadi jangan dianggap dengan peraturan yang dibuat pemerintah, itu dianggap sebagai pelanggaran terhadap kontrak. Tidak. Karena ada ketentuan yang mengatakan bahwa itu harus diikuti. Harus taat juga pada peraturan itu,” kata Otto di Kantor Kementerian ESDM, Senin, 27 Februari 2017.

Otto menambahkan, berbicara mengenai perjanjian, pihaknya menganalisis justru Freeport yang terlebih dahulu melakukan dugaan pelanggaran kontrak, antara lain perusakan lingkungan hidup, pembangunan smelter yang tak kunjung selesai, dan lain-lain.

“Itu sedang kami teliti. Dugaan-dugaan ini akan kami buktikan dulu. Soal smelter, dan sebagainya, konsentrat, nanti detailnya akan kami rumuskan setelah itu akan kami publikasikan lagi di media,” ucap dia.

Selain itu, Otto mendapatkan informasi dari Menteri ESDM, Ignasius Jonan tentang status ketenagakerjaan orang Indonesia yang bekerja di perusahaan asal Amerika Serikat itu. Karyawan Freeport asal Indonesia sebenarnya tidak mendapat upah istimewa, dan hanya sesuai upah minimum regional (UMR), meski mereka telah bekerja keras. Bukan seperti hidup dalam kemewahan yang selama ini diberitakan.

Adapun dari 12 ribu pegawai, sebanyak 4 ribu pegawai berasal dari lokal yang umumnya bekerja di level bawah, dan sisanya 8 ribu orang bukan berasal dari Papua. “Berarti ini nggak akan membawa kemakmuran bagi masyarakat. Peradi di sini ingin memberikan dukungan penuh kepada pemerintah agar jangan mau lagi seperti dulu, ada deal-dealan dan sebagainya,” tuturnya.

Otto, pengacara yang terkenal namanya sebagai kuasa hukum kasus “kopi sianida” yang melibatkan terpidana Jessica Kumala Wongso itu menuturkan, hari ini menemui Menteri Jonan untuk membahas advokasi mereka terhadap pemerintah Indonesia dalam menghadapi gugatan Freeport di proses arbitrase internasional.

Sebelumnya, Chief Executive Officer Freeport-McMoran, Richard Adkerson, menyatakan perusahannya memberikan waktu 120 hari kepada Indonesia untuk mempertimbangkan perbedaan yang terjadi antara Pemerintah Presiden Joko Widodo dan Freeport. Waktu 120 hari tersebut terhitung dari pertemuan terakhir kedua belah pihak pada Senin, 13 Februari 2017. Jika tidak, maka Freeport akan membawa permasalahan kontrak ini ke dalam arbitrase internasional.

Untuk diketahui, pada 11 Januari 2017 lalu Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2017 tentang Perubahan Keempat  atas PP Nomor 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara atau biasa disingkat PP Minerba.

PP ini menegaskan perusahaan pemegang KK harus memurnikan mineral di Indonesia. Jika tidak membangun smelter maka dilarang ekspor. Kemudian jika ingin tetap ekspor harus mengubah statusnya dari KK menjadi IUPK. Dengan menjadi IUPK, maka Freeport juga berkewajiban melepas 51 persen sahamnya kepada Indonesia tahun ini.

Pada 25 Januari 2017 lalu, perusahaan tambang emas dan tembaga ini juga sempat menyatakan mempertimbangkan langkah hukum (legal action) untuk menggugat pemerintah Indonesia. Langkah itu menyusul perusahaan tidak mendapatkan izin ekspor. Sebab berdasarkan KK, Freeport memiliki hak untuk mengekspor konsentrat tembaga tanpa pembatasan atau kewajiban membayar bea ekspor.

_______________________________
(Darius Leka, SH/ Sumber: www. tempo.co/ Foto: Tempo/Destrianita)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar