Kamis, 11 Juni 2020

Mahalnya Kesetiaan

Secara umum kesetiaan adalah suatu sikap pri­badi untuk tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan pilihan yang telah diambilnya. Jika seseorang telah memilih se­suatu atau seseorang, maka ia tidak akan beralih ke sesuatu yang lain atau pribadi yang lain.

JANGKARKEADILAN.COM, JAKARTA – Jika pilihan itu melibatkan dua pribadi (seperti dalam perkawinan), maka masing-masing saling menjaga diri agar tidak berpaling sedikitpun pada siapa pun. Suami dan istri saling berkomitmen dengan keputusannya. Sampai kapan komitmen itu berlangsung? Dalam perkawinan kristiani, kesetiaan itu harus terjaga selamanya, seumur hidup.


Apakah kesetiaan masih aktual di zaman sekarang? Berbicara soal kesetiaan, pada zaman sekarang terkesan bodoh. Kesetiaan di zaman serba digital ini dinilai kesiaa-siaan, tanpa makna. Orang sekarang lebih senang dengan hal-hal yang bersifat parsial dan pragmatis. Begitu pula dengan kesetiaan perkawinan. Manusia mo­dern lebih suka ganti-ganti pilihan atau putusan. Sekarang berkomitmen dengan si A, namun dalam tempo cepat atau lambat beralih ke orang lain. Senang berganti-ganti, nyaris susah ditemukan pasangan suami istri lestari tanpa cacat kesetiaan.

Kini kesetiaan suami istri menjadi hal yang langka dan mahal. Kesetiaan tidak  lagi menjadi cita-cita suami dan istri. Semakin lama nilai-nilai  kesetiaan perkawinan makin pudar. Dan bisa jadi di kemudian hari, kesetiaan menjadi tercampakkan, musnah, dan hanya mimpi belaka.

Apa sih sebabnya? Pola pikir orang zaman modern telah mengalami perubahan. Bertambahnya ilmu pengetahuan manusia bisa menggiring manusia pada pendangkalan nilai-nilai hidup. Orang modern berpikir bahwa hal-hal yang baik adalah hal yang rasional, bernilai jual, jika mungkin mendatangkan uang. Singkatnya, banyak hal diukur dari sisi untung rugi atau produktif tidaknya sesuatu.  

Kondisi ini tentu saja bisa mendorong orang berpikir dangkal. Ia menghindari hal-hal yang irasional dan spiritual. Orang mo­dern kehilangan “roh”-nya. Salah satu bukti tentang hal ini adalah bahwa orang modern cenderung berpenyakit psikis jika berhadapan dengan nilai-nilai substansial. Manusia kini cenderung ketakutan untuk mengikatkan diri secara total dengan orang lain (menikah resmi dan suci). Ada ketidakberdayaan berkomitmen di mana hati dan budi (iman) dilibatkan.

Selain itu, orang yang hidup kini sering dilanda keragu-raguan. Kurang memiliki keberanian untuk mengambil keputusan yang berlandaskan iman. Pertimbangan-pertimbangan matematis terlampau dominan sehingga menggerogoti sisi-sisi batin, hal-hal tidak masuk dalam kerangka matematis. Kesetiaan adalah kebodohan karena tak bisa dihitung untung ruginya secara matematis.

Kurangnya daya juang manusia masa kini juga terbilang dominan. Orang mudah putus asa. Trauma akan masa lalu yang penuh “derita” terkadang tidak mudah hi­lang. Sukar ditemukan orang yang mampu melihat dan menjadikan kejatuhan dan derita sebagai jalan untuk bangkit. Trauma menjadikan orang takut berkomitmen.

Sifat parsial dan pragmatis sebagai ciri orang masa kini pun bisa melunturkan nilai-nilai kesetiaan. Orang cenderung bosan dan selalu mencari hal-hal baru. Ia akan mengganti hal-hal lama dan menghilangkan yang kurang baik. Orang cenderung mencari sesuatu yang baru (orang baru, suasana baru, variasi baru, pengalaman baru). Suami atau istri ingin keluar dari rutinitas dan kejenuhan. Rasa bosan, jenuh, dan suntuk seorang suami atau istri karena setiap saat  bertemu dengan orang yang sama, pekerjaan dan kegiatan yang sama, problem yang itu-itu saja; mendorongnya untuk “lari” dari kondisi itu.

Fatalnya, suami atau istri kemudian bisa “pergi” mencari daya tarik lain di luar dirinya dan keluarganya. Mereka berpaling pada pesona di luar untuk membunuh kejenuhan dan rasa bosannya. Sayangnya, terkadang tindakan mereka ini bisa berakibat fatal. Kejadian konkretnya misalnya suami mencari wanita idaman lain (WIL) atau istri menggandeng pria idaman lain (PIL) sebagi idola baru.

Masih adakah yang setia? Harus diakui bahwa kesetiaan masih bisa ditemukan di zaman sekarang. Masih ada pribadi-pribadi yang merindukan kesetiaan. Masih terlihat, pribadi-pribadi yang keberadaannya menentramkan, membawa kepastian, dan bisa menghalau takut (memiliki daya juang).

Masih sering dijumpai di depan altar dan di depan Tuhan,  janji  “kesetiaan hingga kekal” diucapkan oleh sepasang pengantin. Hal itu kenyataannya bisa membuat mereka mampu membedakan antara menyukai atau mencintai. Menyukai masih mempunyai pilihan, “saya menyukai pasangan saya yang cantik, tetapi saya tidak suka melihat cara makannya, kakinya selalu bergerak-gerak, atau kalau tidur sering mendengkur.” Sedangkan mencinta berarti menerima segala kelebihan maupuan kekurangannya.

Dari kesanggupan membedakan dua kata itu, tidak sedikit pula dari mereka berkomitmen untuk saling mencintai (dalam suka-duka, untung-malang, sakit-sehat). Biar zaman telah mengalami banyak perubahan, kenyataannya masih banyak pasutri yang memegang teguh nilai-nilai perkawinan. Mereka bisa setia seumur hidup walaupun ada begitu banyak tawaran yang menggodanya untuk tidak setia.

Apa sih makna kesetiaan itu? Contoh ideal jika kita berbicara soal kesetiaan adalah Kristus. Kesetiaan Kristus kepada Bapa-Nya yang dilakoninya dengan jalan derita di salib, ternyata mendatangkan kebangkitan dan penebusan. Kesetiaan itu menyelamatkan dan membebaskan. Berlandaskan pada cara hidup Yesus itu, maka kita juga percaya bahwa kesetiaan dalam perkawinan akan membawa keselamatan bagi anggota keluarga (walau untuk mewujudkan kesetiaan itu sulit).

Kristus telah membantu suami dan istri untuk terus memupuk dan meneguhkan kesetiaan. Apa sebab? Karena Dia sumber ke­setiaan. ”Jika kita menyangkal Kristus, maka Dia pun akan menyangkal kita, namun ketika kita tidak setia, Kristus tetap setia, karena Dia tidak dapat menyangkal diri-Nya” (2Tim. 2.13). Mungkin kita kerap tersandung dalam dosa pengingkaran, ketidak se-tiaan dan kita hanya tertawa bahkan menuntut Allah untuk berlaku adil dan setia, padahal kita sendiri tidak setia. Kenyataannya, Dia tetap setia pada kita, terlepas dari betapa seringnya kita tidak setia. 

Secara sosial, kita juga bisa mengambil nilai-nilai kesetiaan. Dalam sejarah Gereja, ada kisah kesetiaan Santo Agustinus kepada Tuhan walaupun sebelumnya ia berdosa berat. Pengakuan dan penyesalan, membawa-nya kembali ke dalam cinta Tuhan. Kisah Roro Mendut, cerita pewayangan Rama dan  Shinta, cerita klasik Romeo-Juliet serta beberapa kisah-kisah tradisional lain, juga menyodorkan bobot  nilai kesetiaan secara berbeda.

Pada tokoh Dewi Shinta, gambaran kesetiaan, terasa pas dijadikan model untuk zaman sekarang. Dewi Shinta rela mengikuti Rama hidup di hutan, sepenanggungan-se­penderitaan, pun ketika dalam cengkeraman Prabu Dasamuka yang ingin memperistrinya. Biar dirayu dengan harta, perhiasan dan kemewahan, ternyata ia tetap setia hidup bersama Rama. Rayuan, godaan, dan iming-iming di zaman sekarang terasa lebih menarik lagi. Betapa pun besarnya godaan dan betapa pun buruknya perubahan, semoga kita tetap setia.

Bagaimana bisa terwujud? Kesetiaan harus didukung oleh iman. Komunikasi suami istri harus mendapat perhatian khusus. Jika komunikasi macet, segera perbaiki. Jangan dibiarkan menjadi tsunami atau bencana  yang dapat mengganggu kehidupan pasutri dalam menjaga dan menegakkan kesetiaan.

Kesetiaan perlu diperjuangkan seumur hidup. Kesetiaan tidak bisa dibeli atau diperoleh dalam sekejap. Kesetiaan tidak bisa  datang tiba-tiba, melainkan melalui proses panjang dan rumit. Karenanya, pasutri hendaknya memiliki daya juang, tidak mudah putus asa, saling menghormati, dan saling menjaga cinta sejatinya.

__________________________________
(Ambrosius Yudha Nugraha/makassar.tribunnews)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar