Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mendorong Kementerian Agama memasukkan pasal mengenai larangan siar kebencian ke dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama (RUU PUB).
JANGKARKEADILAN.COM, YOGYAKARTA – “Hingga saat ini masih dibiarkan praktik penyebaran kebencian kelompok tertentu yang dianggap sesat hingga mengancam keselamatan mereka,” kata anggota Divisi Hak Sipil dan Politik (Kontras) Satrio Abdillah Wirataru di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Selasa (17/3/2015).Dalam dikusi bertajuk “Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan”, Satrio mengatakan bahwa pasal tersebut patut diakomodir dalam RUU PUB. Apalagi beberapa poin utama yang akan digagas Kementerian Agama saat ini antara lain menyangkut syiar agama.
Menurut Satrio, pemerintah seharusnya telah memahami bahwa pangkal merebaknya tindak kekerasan terhadap kelompok atau agama tertentu adalah siar kebencian (hate speech) yang dilontarkan oleh para tokoh atau pemuka agama tertentu.
“Itulah pangkal ancaman toleransi umat beragama saat ini,” kata dia.
Dia mengatakan, selama ini polisi berkilah tidak dapat menindak orang-orang yang melakukan syiar kebencian terhadap agama atau kelompok tertentu dengan alasan belum ada regulasi baku yang melandasinya.
“Sekarang ini orang lebih mudah dipidanakan dengan alasan menodai agama, dari pada mengancam keselamatan suatu kelompok,” kata dia.
Selain itu, lanjut dia, UU PUB juga perlu menghapusakan regulasi-regulasi yang diskriminatif. Misalnya, Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri yang mendiskreditkan penganut Ahmadiyah.
Semangat RUU PUB, kata dia, harus jauh berbeda dengan RUU Kerukunan Umat Beragama (KUB) yang sempat ditawarkan pada 2011.
“Semangatnya harus benar-benar melindungi umat beragama, bukan kerukunan ‘semu’,” kata Satrio.
Pertama, secara filosofis, agama hakekatnya berfungsi mengingatkan manusia beriman, sebagai bagian tak terpisahkan dari masyarakat dan alam semesta.
“Di sini, agama mengingatkan kita akan hakekat jati diri kita sebagai manusia, yakni memanusiakan manusia,” ungkap Menag.
Menag melihat, dalam kontek keindonesiaan, agama mempunyai posisi strategis, karena apapun etnisnya hampir semua masyarakat Indonesia sangat religius. Agama mengandung peran dan fungsi seperti itu.
Kedua, agama adalah hak kita semua. Dan ini dijamin oleh negara. Setiap warga berhak memeluk agama dan menjalankan agama yang dia yakini.
“Karena ini hak, maka sudah menjadi tanggung jawab negara, untuk setidaknya melindungi hak warga negaranya tersebut,” kata Menag.
Menag menilai, selain dua hal di atas, ada pertimbangan lain, yakni pertimbangan sosiologis. Secara sosiologis, setiap agama, membawa misinya masing-masing, yakni untuk menyebarluaskan nilai-nilai ajaran yang ada di dalamnya.
“Itulah pangkal ancaman toleransi umat beragama saat ini,” kata dia.
Dia mengatakan, selama ini polisi berkilah tidak dapat menindak orang-orang yang melakukan syiar kebencian terhadap agama atau kelompok tertentu dengan alasan belum ada regulasi baku yang melandasinya.
“Sekarang ini orang lebih mudah dipidanakan dengan alasan menodai agama, dari pada mengancam keselamatan suatu kelompok,” kata dia.
Selain itu, lanjut dia, UU PUB juga perlu menghapusakan regulasi-regulasi yang diskriminatif. Misalnya, Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri yang mendiskreditkan penganut Ahmadiyah.
Semangat RUU PUB, kata dia, harus jauh berbeda dengan RUU Kerukunan Umat Beragama (KUB) yang sempat ditawarkan pada 2011.
“Semangatnya harus benar-benar melindungi umat beragama, bukan kerukunan ‘semu’,” kata Satrio.
Alasan Kemenag siapkan RUU PUB
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengungkapkan alasan kenapa Kementerian Agama menyiapkan sebuah Rancangan Undang-Undang dengan nama Perlindungan Umat Beragama.Pertama, secara filosofis, agama hakekatnya berfungsi mengingatkan manusia beriman, sebagai bagian tak terpisahkan dari masyarakat dan alam semesta.
“Di sini, agama mengingatkan kita akan hakekat jati diri kita sebagai manusia, yakni memanusiakan manusia,” ungkap Menag.
Menag melihat, dalam kontek keindonesiaan, agama mempunyai posisi strategis, karena apapun etnisnya hampir semua masyarakat Indonesia sangat religius. Agama mengandung peran dan fungsi seperti itu.
Kedua, agama adalah hak kita semua. Dan ini dijamin oleh negara. Setiap warga berhak memeluk agama dan menjalankan agama yang dia yakini.
“Karena ini hak, maka sudah menjadi tanggung jawab negara, untuk setidaknya melindungi hak warga negaranya tersebut,” kata Menag.
Menag menilai, selain dua hal di atas, ada pertimbangan lain, yakni pertimbangan sosiologis. Secara sosiologis, setiap agama, membawa misinya masing-masing, yakni untuk menyebarluaskan nilai-nilai ajaran yang ada di dalamnya.
______________________
(Kompas.com/ Kemenag.go.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar