Kamis, 11 Juni 2020

Godaan di Tengah Penghuni Kampus

Minggu pagi... sambil berjalan melintasi kampus, saya berdoa, mohon ampun pada Tuhan karena telah berniat melakukan perbuatan yang salah.
BERHARI-HARI saya bergulat dengan niat tersebut. Tapi, ya ampun, pergulatan ditambah doa tidak bisa menahan saya untuk tidak melakukan perbuatan yang salah itu.


Sebagai mahasiswa baru, saya adalah anak pemalu di tengah penghuni kampus yang jumlahnya 10 kali lipat dibandingkan jumlah penduduk di kampung saya.  Di masa-masa inilah saya melakukan perbuatan lugu dan bodoh, yang membuat saya menjadi bulan-bulanan di kampus.

Seperti kebiasaan di rumah, Minggu pagi saya mempersiapkan diri untuk Misa.  Saya bertanya pada teman sekamar "Biasanya, kamu pergi ke gereja mana untuk Misa?" Tak saya sangka, seketika ia tertawa terbahak-bahak. "Eh, kamu mau pergi ke gereja untuk Misa?" katanya sambil menyeringai. "Lucu kamu ini ya.... kayak anak kelas 6 SD saja!" Dia lalu bergegas turun ke aula dan mengabarkan pada teman-teman bahwa mereka memiliki seorang "Santo".

Sejak itu saya menjadi bahan ejekan teman-teman, ‘misdinar culun yang enggak punya pacar’, ‘pengecut yang enggak berani merokok’ dan sebagainya. Yang paling parah: ‘Santo yang rajin pergi ke gereja’.

Belajar dari pengalaman itu, saya tidak mau lagi berkata jujur pada mereka tentang kegiatan saya.  Itulah permulaan saya belajar berbohong.  Saya masih tetap pergi ke gereja, tapi kalau ditanya teman, saya bilang ke perpustakaan atau belajar bersama teman-teman.  Hancur sudah keinginan saya untuk bisa diterima teman-teman dalam lingkungan baru ini. Saya harus berbohong tentang kebersamaan dengan Tuhan.

Itulah salah satu tantangan iman yang harus saya hadapi sebagai mahasiswa baru.  Dan kalau saya menengok lagi ke masa yang cukup berat itu, saya heran sekaligus bersyukur bahwa sampai sekarang masih menjadi seorang Katolik yang aktif.  Saya bertanya-tanya bagaimana perasaan orangtua saya ketika membaca surat-surat saya yang menceritakan situasi tersebut.

Kenangan itu selalu datang menghampiri setiap tahun, di saat banyak orangtua yang juga bersiap-siap melepaskan anaknya pergi dari rumah untuk menempuh pendidikan tinggi.  Kehidupan di kampus adalah pengalaman baru bagi anak-anak mereka, juga para orangtua yang selama ini telah mencoba memberikan fondasi pendidikan iman yang kuat.

Mereka pasti khawatir. Apakah anak mereka bisa memelihara nilai-nilai baik yang telah mereka ajarkan? Apakah masih rutin mengikuti Misa?

Di kampus-kampus Katolik sekalipun, apatisme, kebingungan, ketidak-dewasaan, tekanan teman-teman sebaya, godaan hormonal sampai minuman keras dan narkoba serta sederet godaan lain siap mengintai dan mempengaruhi keimanan mereka.  Singkat kata, dalam situasi seperti itu, pasti banyak kekhawatiran yang menghantui orangtua hingga susah tidur. Persoalannya apa yang bisa dilakukan untuk membantu anak-anak agar teguh dalam iman ketika menempuh pendidikan yang  jauh dari rumah?

Sumber kekuatan
Ada empat pemikiran yang bisa direnungkan menghadapi hal tersebut di atas. Pertama, meneguhkan kemandirian.  Ini adalah salah satu hal yang dilakukan seorang anak pada usia pendidikan tinggi.  Banyak yang belum melakukannya, terutama dalam hal finansial.  Maka, biasanya hal favorit yang bisa mereka lakukan adalah mandiri dalam hal identitas religiositas dengan menjadi berbeda dari orangtuanya.

Mereka tahu, bahkan tanda disadari, itulah jalan yang manjur untuk menarik perhatian orangtuanya.  Namun, ini tidak berarti mereka akan mengabaikan iman untuk selama-lamanya.  Ini mereka lakukan hanya sebagai tanda bahwa mereka kini telah bisa mengambil keputusan sendiri.

Kedua, bagi orangtua, cara terbaik untuk memelihara iman anak-anak adalah dengan menghidupi iman itu dengan sungguh-sungguh.  Menjadi orangtua yang beriman penuh sebagai teladan anak-anak adalah sebuah keharusan.

Pada usia kuliah,  yang dilakukan anak-anak adalah menguji nilai-nilai yang dibawa dari rumahnya dengan nilai-nilai baru yang didapat di kampus.  Mereka akan melihat orangtua mereka sebagai model/teladan yang kuat untuk mengukur atau membandingkan dengan model yang lain.  Mereka memang membutuhkan waktu untuk sampai pada kesimpulan dan ketetapan hati tentang nilai-nilai yang baik itu.  Karena itu, orangtua hendaknya sabar dengan proses yang harus mereka lalui.

Jika mereka melihat orangtua sendiri ragu-ragu dengan iman/nilai yang diyakini, mereka pun berpendapat bahwa iman/nilai tersebut bukanlah hal yang kokoh untuk pijakan hidupnya.  Yakinlah, anak-anak itu sangat cermat mengamai orangtuanya menghadapi tantangan yang mereka berikan!  Jika anak-anak melihat iman orangtuanya teguh dan bisa menjadi sumber kekuatan, mereka akan mematrikannya dalam hati sebagai kekayaan dan bekal hidupnya.

Yang ketiga, dengarkan dan berbicaralah dengan anak-anak, tapi jangan mengalah.  Anak-anak butuh dihargai oleh orangtuanya, tapi cermati dan kritisi pendapat-pendapatnya.  Bersedialah mendengarkan dengan penuh perhatian pendapat mereka, tapi jangan mengalah terhadap prinsip-prinsip hidup yang harus dipertahankan.  Sesungguhnya, anak-anak itu mengharapkan orangtuanya mempertahankan nilai-nilai tersebut.  Jika orangtua "hanya" mengalah, anak-anak menjadi kebingungan.

Terakhir atau keempat, doa adalah pendukung terbaik orangtua.  Biarlah Tuhan yang menjawab keraguan yang muncul.  Tuhanlah yang paling mengenali anak-anak kita dari waktu ke waktu.  Tuhan hadir dalam keraguan kita. Tuhan akan hadir pula bagi anak-anak kita untuk memampukannya menghadapi keraguan-keraguan atau kegagalan-kegagalan mereka.

Tapi, yang seringkali tidak kita sadari, waktu yang tepat menurut Tuhan tidak sama dengan pemikiran kita.  Tuhan memiliki kesabaran yang lebih besar daripada kita.  Biarlah Tuhan berbicara kepada anak-anak kita dengan cara yang paling tepat.  Percayalah, suara Tuhan jauh lebih baik daripada bahasa orangtuanya.

Jadi jangan pernah berhenti memelihara iman dalam bentuk apa pun, termasuk berdiskusi dengan anak-anak.  Pasrahkanlah mereka dalam tangan Tuhan.

Menurut pengalaman saya, ada dua alasan mengapa saya masih beriman aktif sampai kini.  Pertama, keteguhan dan ketekunan orangtua saya dalam menghidupi iman.  Kedua, kepercayaan sekaligus kepercayaan diri orangtua untuk berserah kepada Tuhan. Termasuk dalam hal ini percaya kepada saya, apa pun yang terjadi.

_________________________________
(Purnawijayanti, "Keeping the faith at college",Majalah Utusan No. 10, Oktober 2010/Foto: Darius Leka SH)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar