"Gerakan radikal dan intoleransi sudah masuk ke dalam kehidupan bernegara. Hanya berapa belas persen saja yang tidak setuju Indonesia menjadi negara Islam," kata Shinta Nuriyah Abdurahman Wahid, dalam talkshow "Perempuan dan Kebinnekaan", di Jakarta, Senin 10 April 2017.
Shinta mengatakan hal tersebut merupakan
hasil survei yang dilakukan Wahid Foundation. Dari total 1.255
responden, kata dia, sebanyak 59 persen memiliki rasa benci terhadap non
muslim, etnis Tionghoa, dan lain-lain. "Dampak rasa benci itu membuat
mereka tidak setuju anggota kelompok itu (nonmuslim) menjadi pejabat di
Indonesia," tuturnya.
Selain menolak menjadi pejabat, Shinta melanjutkan, sebanyak 82 persen responden tidak setuju kelompok-kelompok tersebut menjadi tetangga mereka. "Kondisi ini sudah sampai di kehidupan bertetangga. Hanya sebagian kecil yang bersifat netral dan mau menghargai perbedaan," tuturnya.
Shinta menilai semua kondisi ini merupakan potensi yang cukup mengkhawatirkan. Dari survei yang dilakukan pun, sedikitnya ada 11,5 juta orang yang berpotensi melakukan tindakan-tindakan radikal.
Dia berpendapat, angka-angka hasil tersebut merupakan peringatan atau "warning" bagi bangsa Indonesia untuk menghadapi radikalisme agama. "Semakin tinggi menerapkan syariah, semakin tinggi keinginan untuk melakukan gerakan radikal," ucapnya.
Jika dibiarkan, menurut Shinta, gerakan radikal dan intoleran merupakan ancaman yang nyata bagi keberagaman yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kelompok-kelompok radikal saat ini juga secara intens masuk ke dalam lembaga-lembaga pendidikan lantaran berbalut kegiatan agama. Kebanyakan pengelola kampus tidak curiga.
"Sehingga mereka bebas melakukan doktrin kepada mahasiswa sehingga hanyut ke dalam sisi gerakan radikal. Ini juga patut diwaspadai," ujar dia.
Seharusnya, Shinta melanjutkan, saat ini sudah ada kontrol yang ketat terkait isi-isi ceramah di kalangan mahasiswa. Selain para pembimbing dan penceramah, ucap dia, yang harus dikontrol adalah pengurus-pengurus lembaga dakwah di lembaga pendidikan.
"Pendampingan kalangan mahasiswa dan pelajar tentunya sangat penting dilakukan untuk menghadapi ajaran-ajaran radikal dan fundamentalis," ujar Shinta.
Menurut dia, seluruh warga Indonesia merupakan saudara sebangsa dan se-Tanah Air, sehingga sudah sepatutnya untuk tetap mengedepankan sikap saling menghormati, menghargai dan tolong menolong.
"Kaum muslimin yang mayoritas harus bisa hidup berdampingan dengan minoritas. Semua harus saling menghormati, menghargai dan tolong menolong," tutur Shinta Wahid.
Shinta berujar, kebhinekaan terobek-robek oleh bangsanya sendiri karena ada kelompok radikal, fundamentalis, dan intoleransi yang mencoba mencuci pemikiran-pemikiran rakyat Indonesia, terutama kaum pemuda dan mahasiswa. "Kaum radikal ini menginginkan mengubah NKRI ini menjadi negara Islam. Ini yang saya tidak suka," katanya seraya menambahkan dirinya prihatin dengan kondisi bangsa ini.
Kaum orang tua, dia menambahkan, harus membentengi dan mengecek anak-anaknya setiap bergaul dengan temannya. Orang tua juga harus meneliti materi apa yang diberikan oleh lembaga pendidikannya saat anaknya mengikuti lembaga dakwah.
Di tempat yang sama, istri almarhum Nurcholis Madjid atau Cak Nur, Omi Komariah Madjid, menuturkan, perbedaan tidak boleh dijadikan ajang untuk mengejek, mengolok maupun merendahkan kelompok lain yang berbeda. bBaik itu berbeda secara agama, etnis, latar belakang dan lain sebagainya.
"Kebhinekaan harus menjadi penyatu bagi kita semua. Perbedaan tidak boleh dijadikan ajang mengejek atau mengolok satu sama lain. Tanamkan nilai-nilai kebhinekaan dan toleransi sejak kecil," tutur istri Cak Nur tersebut.
_________________
Darius Leka,SH/ Sumber. Antara/ www.tempo.co. Keterangan foto: Ibu Shinta Nuriyah Wahid saat menyampaikan humor Gus Dur dalam peringatan dua tahun wafatnya alm. KH. Abdul Rahman Wahid di kediaman Ketua Mahkamah Konstitusi m(MK) Mahfud MD, kawasan Widya Chandra, Jakarta, Senin (2/1). ANTARA/Reno Esnir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar