Jumat, 24 Februari 2017

Ahli: Negara Wajib Mengakui Agama/ Kepercayaan Tiap Penduduk

Ahli Filsafat Hukum, Shidarta saat menyampaikan keahliannya dalam sidang uji materi UU Administrasi Kependudukan, Kamis (2/2) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Foto Humas/Ganie.
JANGKARKEADILAN.COM, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan uji materiil Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tantang Administrasi Kependudukan, Kamis (2/2). Dalam sidang perkara No 97/PUU-XIV/2016, hadir dalam persidangan, Ahli Filsafat Hukum Shidarta.

Menurut Shidarta, pengosongan kolom agama/kepercayaan pada KTP bagi penganut kepercayaan merupakan bentuk perilaku diskriminatif. “Padahal bunyi konsideran pertama dari Undang-Undang Adminduk seperti dikutip di atas, jelas-jelas mengatakan bahwa negara berkewajiban memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi. Mohon dibaca status pribadi ini termasuk di dalamnya data perseorangan, yaitu tentang agama/kepercayaan dari tiap-tiap penduduknya,” jelasnya dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat.

Perlindungan dan pengakuan tersebut, imbuhnya, yang diharapkan datang dari negara. Pengakuan tersebut, menurutnya, tidak sekadar disimpan di dalam database kependudukan, namun juga diakui secara eksplisit di dalam kolom-kolom dokumen resmi seperti kartu kelurga dan kartu tanda penduduk.

Adapun penganut Sunda Wiwitan Dewi Kanti menuturkan masalah kosongnya kolom KTP bagi pemeluk kepercayaan bukan sekadar masalah peraturan administratif. Namun merupakan hal sistemik yang akhirnya melegitimasi dan melanggengkan diskriminasi. “Pola-pola pemikir aparatur negara pelayan masyarakat, yang seolah-olah ini hanya sebuah kendala sosialisasi dari sebuah kebijakan. Saya rasa bukan itu,” ujarnya sebagai saksi yang dihadirkan pemohon.

Dia menyatakan hal tersebut berdampak pola pikir dan pola pemahaman para aparatur negara, pengambil kebijakan, bahkan penuntun atau pengawal keadilan. “Memahami esensi dari sebuah masalah ini bahwa sejatinya setiap identitas  warga negara atau hak-hak yang sangat mendasar menjadi kewajiban mutlak dari negara, tidak terkecuali dan tanpa syarat yang harus memberatkan,” imbuhnya.

Pemohon adalah Nggay Mehang Tana dkk yang merupakan penganut kepercayaan. Menurut pemohon, Pasal 61 ayat (1) dan (2), Pasal 64 ayat (1) dan (5) UU Administrasi Kependudukan bertentangan dengan prinsip negara hukum dan asas kesamaan warga negara di hadapan hukum. Dalam rumusannya, tertulis bahwa KK dan KTP elektronik memuat elemen keterangan agama di dalamnya, namun khusus bagi penganut kepercayaan kolom agama tersebut dikosongkan sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Pengosongan kolom agama pada KTP elektronik bagi penganut kepercayaan, menurut pemohon, mengakibatkan pemohon sebagai warga negara tidak bisa mengakses dan mendapatkan hak-hak dasar lainnya seperti hak atas pendidikan, hak atas pekerjaan, hak atas kesehatan, hak atas jaminan sosial beserta dengan seluruh layanannya, sehingga hal ini jelas melanggar hak asasi manusia. Sedangkan hak-hak dasar tersebut diatur dan dijamin dalam UUD 1945.

Adapun bunyi Pasal 61 ayat (1) UU Administrasi Kependudukan  menyebutkan, “Kartu Keluarga memuat keterangan mengenai kolom nomor Kartu Keluarga, nama lengkap kepala keluarga dan anggota keluarga, NIK, jenis kelamin, alamat, tempat lahir, tanggal lahir, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, status hubungan dalam keluarga, kewarganegaraan, dokumen imigrasi, nama orangtua.”

Sedangkan Pasal 61  ayat (2) UU a quo berbunyi, “Bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.

 _____________________
(Darius Leka,SH/ Sumber: www.mahkamahkonstitusi.go.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar