Pernikahan dapat menjadi sumber kebahagiaan terbesar bagi kita, tetapi bisa juga menjadi sumber stres yang terkuat, bahkan mengarah menjadi sumber konflik dalam hidup.
JANGKARKEADILAN.COM, JAKARTA – DARI sisi psikologis, pernikahan digambarkan sebagai “dua pribadi yang menyatu”. Artinya dua orang dengan pikiran, keinginan, latar belakang, dan harapan berbeda memutuskan bergabung dalam kehidupan bersama.
Perbedaan tersebut tentu berpotensi menimbulkan masalah, stres atau bahkan konflik. Misalnya Nindi dan Nando, pasangan muda yang baru satu tahun menjalani bahtera pernikahan. Nindi berpikir bahwa dengan menikah, “Saya bisa mengalami kehidupan baru yang membahagiakan seperti akhir cerita di dongeng-dongeng. Saya bisa lepas dari kekangan jam malam yang ditentukan ayah”. Termasuk dalam hal ini bisa mengatur ruangan rumah sendiri, menentukan menu makan sendiri dan memelihara kucing kesayangan dengan tenang.
Tapi kenyataannya malah muncul masalah/kesulitan lain. Suami selalu menaruh sepatu dan kaus kaki sembarangan. Selain itu mengoroknya keras sekali, bikin Nindi tak bisa tidur. “Dia tak mau makan sayuran yang sehat, maunya harus ada daging setiap hari,” tambah Nindi.
Nando juga punya penilaian sendiri. “Saya pikir Nindi itu wanita yang lembut, penuh perhatian, eh tahunya kecele saya,” katanya. Ada sifat yang baru muncul setelah mereka tinggal serumah. “Dia ternyata nyinyir banget. Semua yang saya lakukan salah melulu. Mana cemburuan lagi, saya merasa terkekang setelah menikah,” keluh Nando.
Perbedaan
Menurut Whiteman, Verghese, dan Petersen (1996), ada beberapa hal yang harus dipahami pasangan suami-istri agar mereka dapat mengelola hubungan mereka dengan baik, bahkan ketika mereka mengalami stres. Pertama-tama yang harus bahkan wajib dipahami adalah adanya perbedaan latar belakang masing-masing individu.
Banyak contoh mengungkapkan perbedaan-perbedaan tersebut. Misalnya istri yang dibiasakan orangtuanya membuang sampah dan meletakkan barang pada tempatnya tentu akan merasa terganggu dengan perilaku suami yang sembarangan meletakkan pakaian kerjanya. Perbedaan lain terkait suami yang berharap istrinya tinggal di rumah dan memasak sendiri karena ibunya dulu melakukan hal itu, tetapi si istri tetap ingin berkarier karena ibunya dulu juga demikian.
Atau suami lebih suka menonton film perang, sedangkan istri memilih melihat acara sinetron di televisi. Istri lebih sering menjewer telinga anak sebagai cara mendisiplinkan anak, sedangkan suami merasa lebih baik memberi nasihat dan contoh.
Semua perbedaan latar belakang ini merupakan hal-hal yang bisa menimbulkan konflik. Setiap pasangan harus membicarakan isu-isu tersebut dengan kepala dingin dan berkompromi.
Perbedaan gaya atau sifat masing-masing juga bisa memicu munculnya stres atau konflik. Contohnya suami yang suka mengorok, atau istri yang suara bersinnya keras sekali. Kadang kala setiap orang mempunyai kebiasaan yang membuat pasangan merasa jijik atau memiliki sifat yang berlawanan. Misalnya yang satu tertutup, pasangannya mudah membuka diri. Suami pengalah, pasangannya suka mengkritik.
Perbedaan tersebut bukannya tak dapat diatasi. Para suami dan istri perlu memahami gaya dan sifat pasangannya serta belajar menerima. Adanya usaha mengubah sifat pasangan justru akan menimbulkan perlawanan dari pasangan dan tentunya dapat memperberat stres dalam hubungan mereka.
Apa yang akan terjadi jika istri mendambakan tinggal di rumah mungil dengan halaman luas, tetapi suami membeli apartemen di tengah kota? Bagaimana bila suami memimpikan menjadi pelukis terkenal, tetapi pasangannya ingin suami berkarier di perusahaan? Atau yang satu ingin dapat berlibur ke pedalaman Irian, yang lain ingin ke Eropa?
Kita menyimpan banyak energi mental dan emosional pada harapan kita. Kita harus bisa menyesuaikan diri satu sama lain, mencari titik temu dari perbedaan yang muncul.
Kekecewaan
Ketika kita menikah dan kemudian pasangan kita berubah, hal tersebut dapat menyenangkan, tetapi bisa juga mengecewakan kita. Biasanya sebelum menikah, tiap pasangan hanya menampilkan sisi-sisi positif saja. Tetapi begitu pesta usai mereka kembali pada sisi aslinya. Tentunya hal ini dapat menimbulkan kekecewaan bagi tiap pasangan.
Dengan makin menuanya seseorang, banyak suami-istri tak puas dengan kondisi pasangan masing-masing. Misal rambut yang mulai memutih, badan yang mulai menggemuk, sakit-sakitan dan sebagainya. Sering kali penampilan seperti ini semakin menambah ketidakpuasan dan memperburuk hubungan pernikahan.
Meskipun sudah disepakati suami adalah kepala keluarga, perebutan kekuasaan dalam rumah tangga bisa terjadi. Misalnya, istri sering mencari upaya mempengaruhi keputusan suami, atau sebaliknya. Perebutan ini tidak selalu buruk bila pasangan melakukan pertukaran pendapat lebih dulu. Dengan demikian tidak timbul rasa kalah yang mendalam dari mereka yang kalah dalam perebutan kekuasaan.
Pertukaran pendapat, baik yang sesuai maupun yang tidak sesuai bagi tiap individu yang terlibat tetap berpotensi memunculkan stres atau konflik. Yang penting disini adalah bagaimana mengelola konflik itu secara baik, karena setiap hubungan yang terjalin bahkan yang terbaik sekalipun tetap bisa memunculkan konflik. Dengan perkataan lain setiap pasangan harus terus menerus mengupayakan dan memelihara komunikasi terbuka dan efektif.
Lebih-lebih sekarang ini, di mana perceraian merajalela. Orang acap takut bila pasangan akan meninggalkan mereka. Atau istri cemas karena merasa suami tak memberi perhatian lagi. Bila hal ini hanya dipendam dalam hati, bisa-bisa membuat suami makin menjauh. Akibatnya istri makin panik, merasa putus asa.
Meski tidak muncul ke permukaan, hal ini pasti mengganggu perasaan setiap pasangan pernikahan. Jadi, sekali lagi, komunikasi terbuka merupakan sesuatu yang mutlak dalam menjaga dan memelihara keutuhan sebuah pernikahan.
_______________________
(Disadur dari: artikelindonesia.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar