JANGKARKEADILAN.COM, JAKARTA – Mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Kementerian Dalam Negeri Irman serta mantan Direktur Pengelolaan
Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Dirjen Dukcapil Sugiharto
didakwa telah memperkaya diri sendiri, orang lain, dan korporasi dalam kasus e-KTP.
Keduanya didakwa telah bekerja sama dengan Andi Gustinus alias Andi
Narogong sebagai penyedia barang dan jasa pada Kemendagri serta Isnu
Edhi Wijaya sebagai Ketua Konsorsium Percetakan Negara. Kemudian, Diah
Anggraini sebagai Sekretaris Jenderal Kemendagri.
Sekitar November 2009 hingga Mei 2015, mereka juga bekerja sama
dengan Ketua Fraksi Partai Golkar saat itu Setya Novanto dan Ketua
Panitia Pengadaan barang di Dirjen Dukcapil, Drajat Wisnu Setyawan.
Kerja sama ini dibentuk untuk memenangkan perusahaan tertentu dalam
proses pengadaan barang dan jasa proyek e-KTP tahun anggaran 2011-2013. Hal ini terungkap dalam dakwaan yang dibacakan jaksa penuntut umum di
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat, Kamis (9/3/2017).
Jaksa juga menyebut perbuatan mereka bertujuan memperkaya orang lain,
di antaranya Menteri Dalam Negeri saat itu Gamawan Fauzi, Diah
Anggraeni, Sekretaris Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil
(Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri Drajat Wisnu Setyawan bersama
enam anggota panitia pengadaan. Kemudian, Husni Fahmi beserta
lima anggota tim teknis.
Lalu disebut dalam dakwaan kasus e-KTP
itu sejumlah tokoh, yaitu Anas Urbaningrum, Marzuki Ali, Olly
Dondokambey, Melchias Marchus Mekeng, Mirwan Amir, Tamsil Linrung, dan
Taufik Effendi.
Kemudian, Teguh Juwarno, Chairuman Harahap, Ganjar Pranowo, Arief
Wibowo, Mustoko Weni, Rindoko, Jazuli Juwaeni, dan Agun Gunanjar.
Ada pula nama Ignatius Mulyono, Maryam S Haryani, Nu'man Abdul Hakim,
Abdul Malik Haramain, Jamal Aziz, Markus Nari, Yasonna Laoly, dan 37
anggota Komisi II lain. Kemudian juga memperkaya korporasi, yakni Perusahaan Umum Percetakan
Negara (Perum PNRI), PT Len Industri, Pt Quadra Solution, PT Sandipala
Artha Putra, PT Sucofindo dan Managemen Bersama Konsorsium PNRI.
Hal itu merugikan keuangan negara sebesar Rp 2.314.904.234.275 dalam proyek e-KTP tahun anggaran 2011-2012.
Kedua terdakwa dijerat pasal 2 ayat (1) Undang-Undang 31 Tahun 1999
tentang Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU 20
Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang 31 tahun 1999 tentang
Tipikor Jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUH Pidana.
Pasal tersebut mengatur ancaman hukuman minimal 4 tahun penjara dan
maksimal hukuman 20 tahun penjara. Pasal ini juga mengatur denda paling
sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Kedua terdakwa kasus e-KTP
juga dijerat pasal 3 Undang-Undang 31 tahun 1999 tentang Tipikor di
mana kedua pejabat Kemendagri ini menyalahgunakan wewenangnya untuk
memperkaya diri sendiri, orang lain dan korporasi serta merugikan
keuangan negara. "Dipidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 tahun
dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50 juta dan
maksimal Rp 1 miliar," bunyi ayat 3 UU 31/1999.
Mereka Membantah
Setya Novanto membantah terlibat dalam kasus itu. Selama pemeriksaan, penyidik hanya mengklarifikasi pertemuan di DPR. "Itu hanya klarifikasi yang berkaitan saya sebagai ketua fraksi
(Golkar). Itu (pertemuan) ada Pimpinan Komisi II, tentu menyampaikan.
Tetapi yang disampaikan normatif aja," tutur Setya Novanto usai
pemeriksaan di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa 10 Januari
2017.
Nama lain yakni, mantan Anggota DPR Fraksi PDI Perjuangan, Ganjar
Pranowo, yang juga Gubernur Jawa Tengah. Ganjar sempat diperiksa pada 7
Desember 2016. Dia pun membantah turut menerima aliran duit dari
pembahasan proyek e-KTP. Hal itu juga menjadi bagian yang ditanyakan
oleh penyidik KPK dalam pemeriksaan tersebut.
"Saya jawab tidak, kebetulan tadi ada salah satu yang langsung
dikonfrontasi ke saya, ya saya jawab apa adanya, ya saya senang," ucap
Ganjar.
Gubernur Sulawesi Utara, Olly Dondokambey, diperiksa pada 26 Januari
2017. Olly dituduh oleh mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, M
Nazarudin menerima uang 1 juta USD terkait proyek senilai Rp 5,9
triliun. "Kalau ada bukti, lu kasih lihat, gua tuntut lu," ujar Olly dengan
nada tinggi usai diperiksa penyidik di Gedung KPK, HR Rasuna Said,
Jakarta Selatan, Kamis itu.
Seusai pemeriksaan sebelumnya, Olly juga membantah. "Saya tidak
pernah menerima suap," ujar Olly di Gedung KPK, Jakarta, Jumat 11 Juli
2014. Anas Urbaningrum juga sempat diperiksa penyidik KPK pada 11 Januari 2017.
Ada nama besar lain yang sempat disebut Nazaruddin, yakni Wakil Ketua
Umum Partai Demokrat, Jafar Hafsah, yang diperiksa KPK pada 5 dan 21
Desember 2016.
Jafar Hafsah, membantah turut menerima aliran dana proyek pengadaan
E-KTP pada 2011-2012 di Kementerian Dalam Negeri. Dia berdalih masih
duduk di Komisi IV saat anggaran proyek itu dibahas bersama Komisi II
DPR. "E-KTP itu saya ada di Komisi IV. Sedangkan E-KTP itu ada di Komisi
II. Jadi saya tidak, tidak paham persis daripada E-KTP dan
perjalanannya," ujar Jafar usai pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta,
Senin 5 Desember 2016.
Selain Jafar Hafsah, Nazaruddin menyebutkan pihak lain yang menerima
aliran dana tersebut, yakni dari kementerian; mantan Menteri Keuangan
era SBY, Agus Martowardojo yang pernah diperiksa KPK pada 1 November
2016.
Pada pemeriksaan tersebut, Agus menegaskan juga membantah tudingan
itu. Dia mengaku justru dirinyalah yang menolak kontrak skema tahun
jamak atau multiyears, bukan Sri Mulyani. "Saya juga dengar ada kalimat bahwa saya jadi Menkeu menggantikan Sri Mulyani 20 Mei 2010, sebelum ini ada penolakan multiyears contract oleh Sri Mulyani. Saya katakan di dalam file tidak ada penolakan dari Sri Mulyani, yang ada ketika multiyears contract mau diajukan ke Menkeu, diajukan 21 Oktober 2010, dan di 13 Desember 2010 ditolak oleh saya," tutur Agus.
Nazaruddin juga sempat menyebut nama mantan Mendagri, Gamawan Fauzi. Gamawan pernah diperiksa KPK pada 19 Januari 2017.
Gamawan pun membantah terlibat dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan e-KTP seperti yang dituduhkan Nazaruddin.
Kemudian, Yasonna Laoly yang saat ini menjabat sebagai Menteri Hukum
dan HAM juga menampik tudingan itu. Sebagai kader partai oposisi ketika
pembahasan proyek e-KTP, Yasonna mengaku tak pernah ikut campur soal
anggaran. "Dalam pembahasan program dan anggaran, Fraksi PDI Perjuangan sangat
kritis. Sepanjang mengenai aliran dana saya pastikan saya tidak ikut.
Boleh dikonfirmasi, siapa yang memberikan? Di mana? Apalagi
disebut-sebut jumlahnya, wah sangat gede itu buat ukuran saya. Yg benar
saja," tandas Yasonna.
_________________
Darius Leka, SH/ Sumber: www.Liputan6.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar